SISTEM PENGANGKATAN KHALIFAH DAN POTRET KEPEMIMPINANNYA: IMPLIKASIBAGI PERADABAN ISLAM
Refleksi Demokratisasi dan Metodologi Leadhersip dari Indikasi Deskripsi Potret Kepemimpinan 'Khulfaur Risyidin Al-Mubsyirah bil-Jannah' dalam Bingkai Peradaban Islam dan Implikasinya Sejak Dulu hingga Sekarang.
Refleksi Demokratisasi dan Metodologi Leadhersip dari Indikasi Deskripsi Potret Kepemimpinan 'Khulfaur Risyidin Al-Mubsyirah bil-Jannah' dalam Bingkai Peradaban Islam dan Implikasinya Sejak Dulu hingga Sekarang.
: AKHMAD FAKIH, S.Pd.I
A.
Peradaban
Masa Khulafa Al-Rasyidun
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak
dapat diganti oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi
kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera
ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan “Khalifah” artinya yang
menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin (pimpinan komunitas
Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-hukum
Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran.
Mereka adalah Abu Bakkar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib.
1.
Abu Bakkar
Ahs-Shiddiq
Abu Bakkar Ash-Shiddiq namanya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir
bin Amr bin Ka’bah bin Sa’ad bin Tayyim bin Murrah. Lahir di Mekkah dua tahun
beberapa bulan setelah tahun Gajah. Rasulullah SAW menyifatinya dengan atiq
min an nar” (orang yang terbebas dari neraka), sehingga dia lebih dikenal
dengan nama “Atiq”. Sedangkan gelar “Shiddiq” beliau peroleh setelah
peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah, ketika beliau tanpa ragu-ragu
membenarkan kejadian tersebut disaat orang lain mendustakan dan menganggapnya
sebagai hal yang mengada-ada.[1]
Nabi seringkali menunjuknya untuk mendampinginya disaat-saat penting atau jika
berhalangan, Rasul mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas
keamanan dan atau mengurusi persoalan-persoalan aktual di Madinah.[2]
a.
Sistem Pengangkatan Abu Bakkas Ash-Shiddiq
Sistem pengangkatan
Abu Bakkar Ash-Shiddiq menjadi khalifah bersifat penunjukan. Dengan wafatnya
nabi Muhammad Saw, maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah
Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas
spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan
wahyu Ilahi. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang
siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin
ummat. Berkenaan dengan pengganti beliau sebagai Kepala Negara, terjadilah
perselisihan pendapat di kalangan kaum muslimin pada saat itu. Situasi ini
membahayakan ummat Islam di Madinah, sehingga masalah pergantian pimpinan
dicoba untuk diselesaikan pada hari wafatnya nabi. Pertemuan mendesak yang
dilakukan oleh suku Khazraj merupakan tantangan besar terhadap keutuhan Madinah.
Persoalan menjurus sampai pada usaha menemukan calon yang paling bisa diterima
oleh semua. Masing-masing kelompok mengajukan calon Khalifah dan mengklaim
bahwa calon mereka yang paling berhak atas kekhalifahan. Calon-calon tersebut
antara lain Abu Bakar, 'Ali bin Abi Thalib dan Sa'ad bin 'Ubadah. Perselisihan
lainnya terjadi di Saqifah, yaitu balai pertemuan Bani Sa'idah.
Perselisihan ini berakhir dengan dibai'atnya Abu Bakar sebagai Khalifah,
setelah melalui berbagai perdebatan.[3]
Banyak orang
menganggap terutama Bani Hasyim yang menganggap bahwa pemilihan Abu Bakkar
tersebut tidak sah dikarenakan beberapa alasan, (1) yang pantas menggantikan
adalah dari pihak keluarga Nabi yaitu Ali, ini merupakan konsekuensi logis dari
watak bangsa Arab yaitu Ashabiyah, (2) sebelum sempurnanya pengurusan
jenazah Nabi namun sekelompok orang sudah meributkan tentang pengganti Nabi.[4]
Sedangkan
kelompok Ansar telah melakukan pertemuan di Balai Rung Bani Sa'idah. Mereka
hendak mengangkat Sa'ad bin Ubadah sebagai Khalifah. Pertemuan tersebut
akhirnya diketahui oleh kelompok Muhajirin. Maka pergilah Abu Bakar, Umar dan
Abu 'Ubaidah bin Jarrah ke balai pertemuan Bani Sa'idah. Terjadilah perdebatan
yang alot dalam pertemuan tersebut. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraish
untuk dipilih sebagai Khalifah, yaitu Umar bin Khattab atau Abu 'Ubaidah bin
Jarrah. Calon dari Quraish ini diajukan demia menjaga keutuhan ummah dan
menghindari permusuhan lama antara dua suku besar di Madinah, yaitu suku
Khazraj dan Aus.
Orang-orang
Ansar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu Bakar. Umar tidak
menyia-nyiakan momentum yang sangat baik itu. Umar mulai bicara tentang
profil pemimpin yang mereka harapkan guna menjaga keutuhan ummah.
Kemudian Umar memegang tangan Abu Bakar dan membai'atnya serta menyatakan
kesetiannya kepadanya sebagai Khalifah. Tindakan Umar ini dikuti oleh Abu
'Ubaidah bin Jarrah. Tetapi sebelum dua tokoh Quraish mengucapkan bai'at,
Bashir bin Sa'ad, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj mendahui mengucapkan
bai'at kepada Abu Bakar. Kemudian bai'at tersebut diikuti oleh kelompok
Muhajirin maupun kelompok Ansar yang hadir di sana, termasuk Asid bin Khudair,
seorang tohoh Ansar dari suku.
Ada dua faktor
utama yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah. Pertama,
menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah (pemimpin)
haruslah berasal dari suku Quraish. Kedua sahabat sependapat tentang
ketokohan pribadi (profil) Abu Bakar sebagai khalifah karena beberapa keutamaan
yang dimilikinya. Keutamaan tersebut antara lain ia adalah laki-laki dewasa
pertama yang memeluk agama Islam, ia satu-satunya sahabat yang menemani nabi
Saw pada saat hijrah dan ketika bersembunyi di Gua Sar, ia sering ditunjuk
Rasulullah Saw untuk mengimami shalat ketika beliau sedang uzur. Ia keturunan
bangsawan, cerdas dan berakhlak mulia.[5]
b.
Potret
kepemimpinan Abu Bakkar Ash-Shiddiq dan Implikasinya bagi Peradaban Islam
Abu Bakkar
menjadi kahilafah selama dua setengah tahun, tepatnya dua tahun tiga bulan dua
puluh hari. Selama Abu Bakkar menjadi khalifah, ia selalu memprioritaskan
kemaslahatan ummatnya ini bisa dilihat dari bermunculannya orang-orang yang murtad
dari agama Islam, adanya gerakan Nabi Palsu dan Pembangkangan Zakat.
Keputusan Abu
Bakkar yang paling bijaksana dalam menghadapi pemberontakan ialah hukuman Abu
Bakkar terhadap kaum murtadin yang terus membangkang dan tidak memenuhi seruan
damai dan tidak mengacuhkan seruan peringatan ancaman.[6]Selain
itu kesederhanaan yang ada dalam diri Abu Bakkar, ia masih menjadi pedagang pakaian
setelah menjadi kahlifah.[7]
2.
Umar
bin Khattab
Nama lengkap Ummar bin Khattab adalah Ummar bin Khattab bin Nufail
bin Abdil ‘Uzza bin Rabbah. Beliau adalah khalifah kedua setelah Abu Bakkar ia
menerima julukan Faruq (yakin seorang yang memisahkan kebenaran dari kepalsuan)
setelah masuk Islam.[8] Umar
memeluk Islam ketika usianya dua puluh enam tahun dan sumber-sumber itu sepakat
bahwa ia masuk Islam pada tahun keenam kerasulan Nabi SAW.[9]Ia
juga orang yang pertama kali diberi gelar Amir Al-Mu’minin (pemimpin orang
beriman). Umar menyebut dirinya adalah Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti
dari pengganti Rasulullah).
Diantara kelebihan umar ialah bahwa ia memiliki sifat yang tegas
yang diwarisi bapaknya. selain itu beliau juga seorang pemimpin yang saleh,
jujur, adil dan sederhana serta selalu mendahulukan kepentingan dan
kemaslahatan orang banyak. Karakter-karakter tersebut menjadi modal utama
beliaudalam mensukseskan politik pemerintahannya.
a.
Sistem
Pengangkatan Umar bin Khatab
Menjelang
wafat, Abu Bakkar menunjuk Umar sebagai penggantinya. Menurutnya, hanya Ummar lah
yang mampu untuk meneruskan tugas kepemimpinan umat Islam. Namun sebelum Abu
Bakkar menetapkan Umar sebagai penggantinya, terlebih dahulu ia Meskipun
pengangkatan Umar sebagai Khalifah merupakan berkonsultasi dan meminta pendapat
para pembesar sahabat. Ternyata mereka tidak keberatan atas maksud sang
Khalifah mencalonkan Umar sebagai Khalifah berikutnya. fenomena baru yang
menyerupai penobatan putera mahkota, tetapi harus dicatat bahwa proses
peralihan kepemimpinan tersebut tetap dalam bentuk musyawarah yang tidak
memakai sistem otoriter, sebab Abu Bakkar tetap meminta pendapat dan
persetujuan dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar. Bahkan
hal tersebut ia tuangkan salam sebuah surat wasiat.[10]
Penunjukan
secara langsung oleh Abu Bakkar merupakan hal yang wajar untuk dilakukan. Ada
beberapa faktor yang mendorong Abu Bakkar untuk menunjuk Umar menjadi Khalifah:[11]
1)
Kekhawatiran
peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret
umat Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk
seorang menggantikannya.
2)
Kaun
Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi
Khalifah.
3)
Ummat
Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang.
Sementara pasukan mujahidin bertempur diluar kota Madinah melawan tentara
Persia di satu pihak dan tentara Romawi dipihak lain.
b.
Potret
Kepemimpinan Umar bin Khatab dan Implikasinya bagi Peradaban Islam
Dengan
membentuk sistem militer yang handal dan didukung sistem administrasi
kenegaraan yang efektif dan efisien. Berikut beberapa rekonstruksi pemikiran
dan peradaban Islam masa Khalifah Umar bin Khattab:[12]
1)
Bidang Politik/Pemerintahan
a) Selalu mengedepankan prinsip musyawarah serta
memperhatikan berbagai macam aspirasi dalam memutuskan suatu perkara
b) Berpegang pada prinsip keadilan dan persamaan dalam
penegakan masyarakat dan pemerintahan.
2)
Bidang Administrasi Negara
a) Mendirikan Baitul Mal sebagai tempat menyimpan semua
pendapatan negara
b) Membuat peraturan yang berkaitan dengan kekayaan negara
yaitu melakukan pembukuan administrasi.
3)
Bidang Kepemimpinan
Mencontohkan
bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang mulia dimana seorang
pemimpin harus bisa menjadi contoh bagi masyarakat, misalnya seorang pemimpin
harus mempunyai sifat jujur, pemberani, jantan, zuhud, senang berkorban, rendah
hati, mau menerima nasehat orang lain, bijaksana, sabar, cita-cita tinggi,
memiliki keteguhan hati, memiliki keinginan yang kuat, adil, mampu
menyelesaikan permasalahan dengan baik, dan lain-lain.
4)
Bidang Hukum
a) Dalam memutuskan suatu hukum selalu bersumber pada
al-Quran, as-Sunnah, Ijtihad, Ijma’, Qiyas, Putusan-putusan hukum terdahulu,
dan ar-Ra’yu (pendapat).
b) Bukti-bukti yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan
suatu perkara hukum diantaranya, pengakuan terdakwa, persaksian, sumpah,
pengumpulan informasi dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan penetapan
nasab, bukti-bukti penguat, juga pengetahuan seorang hakim.
5)
Selalu mengedepankan prinsip kemashlahatan Ummat.
6)
Meliliki Jiwa yang besar dalam menerima kritikan dari rakyat yang
dipimpinnya.
3.
Utsman
bin Affan
Nama lengkapnya Utsman bin Affan bin Ash bin Umayyah bin Abdi Syams
bin Abdi Manaf. Beliau adalah pedagang dengan modal sangat besar sebelum Islam.
Banyak hartanya beliau infakkan buat kepentingan dakwah baik periode Mekkah
maupun setelah di Madinah. Utsman adalah orang yang sangat dekat dengan
Rasulullah. Beliau diberi gelar Dzun Nurain karena menikah dengan duan
anak Rasulullah, Ruqayyah dan Ummu Kaltsum. Beliau termasuk di antara sepuluh
sahabat yang mendapat gembira akan masuk surga dan beliau akan mati syahid.[13]
Utsman terkenal pemalu, memiliki kecerdasan akal, sangat Iffah (menjaga
kehormatan diri), menjaga silaturahmi, takwa, panjang shalat tahajjud-nya,
menangis saat mengenang negeri akhirat, tawadu, mulia dan dermawan.
a.
Sistem
Pengangkatan Utsman bin Affan
Utsman bin
Affan menjadi khalifah ketiga setelah menggantikan Umar bin Khattab yang
meninggal dunia. Umar bin Khattab Sebelum meninggal menunjuk enam orang untuk
menjadi anggota dewan syura yang bertujuan untuk memusyawarahkan pemilihan
khalifah berikutnya. Enam anggota yang terpilih adalah Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, Zubair bin Al-awwam,
dan Thalhah bin Ubaidillah. Abdurrahman bin Auf selaku ketua dewan syura,
melakukan musyawarah dengan anggota yang lain untuk memilih dua orang kandidat.
Kaum muslimin memilih Utsman bin Affan menjadi khalifah, karena kaum
muslimin memandang Utsman bin Affan lebih tua dan perilakunya dipandang lebih
lembut.[14]
Khalifah Umar bin Khattab menentukan masa pemilihan atau musyawarah selama 3
hari dan memerintahkan supaya para anggota majelis syura melakukan
musyawarahnya di salah satu rumah para anggota.
Musyawarah yang
dilakukan oleh majelis syura akhirnya membuahkan hasil. Abdurrahman bin Auf
sebagai ketua di majelis syura mengumumkan pada hari itu juga ada pembaiatan khalifah
selanjutnya. Kaum muslimin melihat bahwa Utsman bin Affan sangat cocok
menjadi khalifah ketiga. Kaum muslimin melihat bahwa sifat baik dan
kedekatan yang sangat baik dengan Rasulullah yang menjadikan Utsman bin Affan
menjadi khalifah.[15]
b.
Potret
Kepemimpinan Utsman bin Affan dan Implikasinya bagi Peradaban Islam
Dalam
menjalankan kekhalifahannya, Utsman tidak setegas Abu Bakkar dan Umar Beliau
mempunyai sifat lembut dan pemalu, hal ini berpengaruh terhadap karakter beliau
dalam mengambil keputusan. Terjadi dalam beberapa kasus pengangkatan jabatan,
Utsman cenderung tidak bisa menolak permintaan saudaranya untuk menjadikan
pejabat.
Enam tahun
pertama pemerintahannya, kebijakan yang dijalankan merupakan kelanjutan dari
kebijakan politik Khalifah Umar bin Khatab. Kekhalifahannya ditandai dengan
perluasan kerajaan Islam yang besar sekali. Ia berhasil dan berjalan dengan
lancar, keamanan, keharmonisan, ketentraman tercipta. Tetapi pada masa enam
tahun kedua, pemerintahan sedikit demi sedikit terjadi kekacauan. Utsman
memberikan kekuatan, kekuasaan atau otoritas kepada suku tertentu Bani Umayyah.
Tindakan Utsman ini membuat perang sebagian orang Quraisy, maka banyak pihak
menjadi murka dan selanjutnya mendorong orang terang-terangan memberontak
terhadap Utsman.[16]
Sifat Khalifah
Utsman adalah mudah terpengaruh dengan cerita yang disadur orang di depannya. Akhirnya
pemerintahannya berada dibawah kendali para keluarganya. Langkah politik Utsman
yang lemah dan keterpihakkannya kepada kaum kerabat telah menimbulkan kebencian
dari penduduk Madinah dan sejumlah besar penduduk kota-kota diberbagai wilayah
negara.[17]
4.
Ali
bin Abi Thalib
Nama lengkapnya Ali bin Abi Thalib bin Abdi al Mutthalib bin Hasyim
bin Abdi Manaf bin Qushay. Ali adalah satu dari sepupu orang yang mendapat
jaminan dari Rasulullah Saw untuk masuk surga. Ia adalah saudara Rasulullah
sewaktu terjadi Mu’akhat (jalinan ukhuwah dari Madinah). Ali adalah juga
menantu Rasulullah Saw karena ia menikahi putri beliau, Fatimah, pemimpin
perempuan sedunia. Ali adalah salah satu ulama Rabbaniyyin, seorang pejuang
yang gagah berani, seorang zuhud yang terkenal ia seorang orator ulung. Ia
adalah diantara penghimpun al-Quran dan ia bacakan dihadapan Rasulullah Saw.[18]
Ali dikenal sebagai pemberani, orator, dan sastrawan. dalam masalah
qadha, beliau adalah pakarnya. Beliau memiliki keimanan yang kuat,
pemahaman Islam yang baik dan memiliki kemampuan untuk memengaruhi khalayak,
seperti masuk Islamnya penduduk Hamadhan seluruhnya di tangan beliau dalam satu
hari.[19]
a.
Sistem
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Baiat terhadap
Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah berjalan dengan suka rela dari kaum muslimin,
hal itu berlangsung setelah terjadi pembunuhan terhadap Khalifah Utsman oleh
tangan-tangan kotor para pemberontak yang datang dari berbagai penjuru daerah,
sehingga peristiwa tersebut menghantarkan sang Khalifah Rasulullah itu syahid
menghadap Allah Swt.[20]
Atas dasar
itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah secapat mungkin dan
dilakukan di Madinah karena kita itu satu-satunya yang ibu kota Islam. Di sana
juga tinggal Ahl Al-Halli Wa Al-Aqd, semacam dewan perwakilan yang berhak
memilih melakukan baiat kepada seorang khalifah. Karena kondisi yang sangat
genting tidak mungkin meminta pendapat dari daerah dan provinsi yang bertebaran
di seluruh negeri.Keadaan yang sangat berbahaya ini memerlukan pengangkatan
seorang pimpinan yang dengan segera untuk menghindari perpecahan dan kehancuran
yang mengancam keutuhan negara. Pada waktu itu ada Empat orang sahabat Nabi saw
dari enam yang dipilih Umar sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah,
Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat dari berbagai segi Ali dianggap yang
paling utama. Dalam sebuah pertemuan permusyawaratan Abdurrahman bin Auf
menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling dipercayai umat setelah Utsman bin
Affan.[21]
Atas dasar itu
mereka memandang wajar memilih Ali sebagai pemimpin mereka. Dan tidak pula ada
seorang pun yang dipercaya selain Ali. Jika ada seseorang yang mencalonkan diri
di samping Ali pasti tidak akan terpilih karena levelnya jauh di bawah Ali.[22]
Semua sahabat yang saat itu ada di madinah membaiat Ali sebagai khalifah. Mereka
mengatakan bahwa masyarakat tidak akan tertib, keadaan tidak akan aman tanpa
adanya seorang pemimpin.
b.
Potret
Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan Implikasinya bagi Peradaban Islam
Demokratis Ali
Bin Abu Thalib menerima kekhalifahan dan mau dibaiat Tetapi bai’at harus
dilakukan di Mesjid Dan di depan masyarakat banyak dan tidak tersembunyi, dan atas
kerelaan kaum muslimin. Bai’at berlangsung di Mesjid Nabawi, termasuk kaum
Muhajirin dan Anshar dan tidak ada penolakan, termasuk para sahabat besar,
kecuali ada tujuh belas sampai dua puluh orang.
Sifat Ali di
hari pertama kekuasaannya, Khalifah Ali Bin Abi Thalib selalu memperhatikan dan
mencermati keadaaan rakyatnya. Berusaha meneliti apa-apa yang mengusik,
menyakiti, dan menyulitkan hidup mereka. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Khalifah Ali Bin Abi Thalib membuat saluran air untuk mengairi lembah-lembah
dan membuat sejumlah tempat pemandian umum di jalan-jalan yang dilintasi kaum
muslim. Ia juga sering berjalan-jalan di pasar seraya memperingatkan para
pedagang agar tidak melakukan pekerjaan mereka tanpa mengetahui fikih muamalah
ia berkata,”orang yang berdagang dan tidak mengetahui fikih maka ia jatuh dalam
riba, kemudian melakukan riba, dan melakukannya lagi.[23]
Khalifah Ali
menghidupkan cita-cita Abu Bakkar dan Umar, menarik kembali semua tanah dan
hibah yang telah dibagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya kedalam
kepemilikan negara. Ali juga segera menurunkan gubernur yang tidak disenangi
rakyat. [24]
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Imam. 2014. Tarikh Khulafa: Sejarah Para Khalifah. Penerjemah.
Muhammad Ali nurdin. Jakarta: Qisthi press.
Ali Muhamamd Ash-Shalabi. 2008. Biografi Ali
bin Abi Talib, (Jakarta: Pustaka al Kautsar.
Ali, Muhammad. 2007. The Early Caliphate
(Khulafa Al Rasyidin). Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.
Al-Maududi. 1978. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan.
Audah, Ali. 2013. Ali Bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan
Husain. Jakarta: Pt. Mitra Kerjaya Indonesia.
Abu Bakkar, Istianah. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UIN
MALANG Press.
Hefni, Harjani & Wahyu Ilaihi. 2007. Pengantar
Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana.
Husain, Taha. 1986. Dua Tokoh Besar dalam
Sejarah Islam Abu Bakkar dan Umar. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Ibrahin Hasan, Hasan. 2001. Sejarah dan
Kebudayaan Islam-1, terj. A. Bahauddin. Jakarta: Kalam Mulia
Ibrahim, Hasan. 1996. Tarikh al-Islam, Jilid 1 Cet. XIV
Kairo: Maktabah Al-Nahdah al-Misriyah.
Ja’farian, Rosul. 2003. Sejarah Islam, terj. Ilyas Hasan .
Jakarta: PT. Lentera Bashitara.
K.M, Halid. 2014. Utsman bin Affan (Khalifah
Penjunjung Al-Qur’an). Bandung: Mizania
Malik, Abdul. Aspek Pendidikan dalam
Bangunan Peradaban Masa Umar bin Khatab.
Vol 7 No 1 Februari 2016.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
Noor. 2014. Sejarah Timur Tengah (Asia Barat
Daya). Yokyakarta: Ombak.
Munawwir, Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar
dan Pemikiran Islam dari Masa ke Masa. Surabaya: Pt. Bina Ilmu.
Rahmatullah, Muhammad. Kepemimpinan Khalifah
Abu Bakkar Ash-Shiddiq. Vol 4 No 2
September 2014.
.
[1] Wahyu Ilaihi
& Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2007),
hlm. 83-83
[2] Ali Mufrodi, Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 47
[3] Muhammad
Rahmatullah, Kepemimpinan Khalifah Abu Bakkar Ash-Shiddiq, Vol 4 No 2
September 2014, hlm.198
[4] Istianah Abu
Bakkar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN MALANG Press, 2008), hlm.
29
[5] Muhammad
Rahmatullah, Op.Cit. hlm. 199
[6] Imam Munawwir,
Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikiran Islam dari Masa ke Masa, (surabaya:
Pt. Bina Ilmu), hlm. 52
[7] Istianah Abu
Bakkar, Op.Cit. hlm. 34
[8] Muhammad Ali, The
Early Caliphate (Khulafa Al Rasyidin), (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah,
2007), hlm. 69
[9] Taha Husain, Dua
Tokoh Besar dalam Sejarah Islam Abu Bakkar dan Umar, (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1986), hlm.131
[10] Hasan Ibrahim,
Tarikh al-Islam, Jilid 1 Cet. XIV (Kairo: Maktabah Al-Nahdah
al-Misriyah, 1996), hlm. 174
[11] Abdul Malik, Aspek
Pendidikan dalam Bangunan Peradaban Masa Umar bin Khatab, Vol 7 No 1
Februari 2016, hlm. 86
[12] Ibid, hlm.
88
[13] Wahyu Ilaihi
& Harjani Hefni, op.cit, hlm. 99
[14] Noor, Sejarah
Timur Tengah (Asia Barat Daya), (Yokyakarta: Ombak, 2014), hlm. 102-103
[15] Khalid K.M, Utsman bin Affan (Khalifah Penjunjung Al-Qur’an).
(Bandung: Mizania, 2014), hlm.67-69
[16]Rosul
Ja’farian, Sejarah Islam, Terj. Ilyas Hasan (Jakarta: PT. Lentera
Bashitara, 2003), hlm. 161
[17] Hasan Ibrahin
Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam-1, terj. A. Bahauddin (Jakarta:
Kalam Mulia, 2001), 504
[18]Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa: Sejarah
Para Khalifah, Penerjemah, Muhammad Ali nurdin, (Jakarta: Qisthi press,
2014), hlm 179-180
[19] Wahyu Ilaihi
& Harjani Hefni, op.cit, hlm 102
[20] Ash-Shalabi
Ali Muhamamd, Biografi Ali bin Abi Talib, (Jakarta: Pustaka alKautsar,
2008), hlm. 219
[21] Al-Maududi, Khilafah
dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1978), hlm. 156
[22] Ibid, hlm.
219
[23] Ali Audah, Ali
Bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husain, (Jakarta: Pt. Mitra Kerjaya
Indonesia, 2013), hlm. 193-198
[24] Ali Mufrodi, op.cit,
hlm. 47