الرسالة
في دراسة القران الكريم
الموضوعات الدراسة :
التفسير
و التأويل
(التعريف و الفرق وموضوع المباحث والأهمية والمثال)
المؤلف ورتبها : احمد فقيه المدورى مع اخي ريان
جامعة
مولانا مالك ابرهيم الإسلامية الحكومية بمالانج
برنامج
الدراسات العليا
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam memahami teks al Qur’an yang utuh
dan menyeluruh, dibutuhkan adanya tafsir. Kemudian munculah istilah lain dalam
hal tafsir selain tafsir, yakni at Takwil. Kemudian keduanya menjadi
perbincangan yang mengemuka ketika memahami Qur’an dengan cara ditafsir dan
atau ditakwil. Tafsir dan takwil ini kemudian menjadi masalah pelik ketika
keduanya diberikan pengertian atau digali secara epistimologi. Perbedaan
keduanya “nyaris” tidak ada, namun jika
ditelisik lebih jauh tetap ditemukan perbedaan. Dalam istilah pribahasa
Indonesia disebut, “sama tidak serupa”. Lebih lanjut, permasalahan ini
semakin meruncing, karena keduanya memiliki urgensitas yang high class dalam
memaknai al Qura’n secara kompehensif dan konkrit. Menjadi penting karena al
Qur’an pedoman hidup umat manusia, sehingga jika ada kesalahan mind sheet (pemahaman
al-Qur’an) awal yang dibangun, berimplikasi kepada—meminjam istilah hadist—dholla
wa adholla (sesat dan menyesatkan).
Berangkat dari hal ini, kemudian penulis
mencoba membedah lebih jauh tentang tafsir dan takwil, dari segi makna ,
perbedaan, sejarah singkat, contoh dan urgensinya. Maka dirumuskan beberapa
masalah terkait, agar memudahkan dalam memahami hal ini.
B. Rumusan Masalah
- Apa makna tafsir?
3.
Bagaimana
perbedaan tafsir dan takwil?
4.
Apa
saja syarat mufassir?
5.
Bagaimana
tafsir pada masa Rasulullah, Ahlul Bait, Sahabat dan Tabi’in?
6.
Apa
urgensi tafsir?
7.
Bagaimana
contoh-contoh ayat-ayat tafsir dan takwil?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tafsir dan Takwil
a)
Makna tafsir dari segi Etimologi dan Terminologi
Pengertian tafsir
secara etimologi adalah penjelasan dan keterangan (al-bayan dan
al-kasyf)[1],
keterangan sesuatu (as-syarhu) atau “tafsirah”[2]
yatiu alat kedokteran yang mengungkapkan penyakit dari seorang pasien. Oleh
karena itu tafsir, “ dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan
ayat-ayat al Quran[3].
Di dalam al-Quran sendiri, kata tafsir memang bermakna demikian.
Allah Swt berfirman:
“Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan.
Kami datangkan suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.
Maka, tafsir secara terminologi adalah
keterangan mengenai petunjuk-petunjuk yang berasal darinya dan penjelasan
mengenai makna yang diisyaratkan oleh lafazh tersebut[4].
Suatu kata tidak
dapat dikatakan telah mengalami proses penafsiran jika tidak terdiri dari kata yang masih samar dan belum jelas
maknanya. Jika ada orang yang mendengar suatu ucapan yang memiliki makna zhahir
yang secara spontan dapat dipahami kemudian memberitahukan makna dari
ucapan tersebut, maka makna yang disampaikannya itu bukanlah penafsiran. Hal
itu karena pada hakikatnya, ia tidak mengungkap atau menjelaskan sesuatu yang
sebelumnya masih samar. Sesuatu dapat dikatakan telah mengalami proses
penafsiran jika seseorang telah berusaha dan bersungguh-sungguh untuk
mengungkap dan menjelaskan ucapan yang masih terlihat samar dan rancu. Dengan
ungkapan lain, kita dapat mengatakan bahwa siapapun yang menjelaskan makna
suatu lafazh tertentu berarti ia tengah melakukan proses penafsiran.
Adapun jika makna dari lafazh tersebut sudah jelas dan zhahir, maka
lafazh tersebut tidak bisa dikatakan mengalami proses penjelasan dan
penafsiran.
b)
Makna takwil dari segi Etimologi dan Terminologi
Lafazh takwil timbul beriringan dengan lafazh tafsir
dalam pembahasan tentang al-Quran dikalang para ahli tafsir. Para ahli tafsir
menganggap takwil pada intinya sama dengan tafsir dari segi makna
masing-masing. Kedua kata tersebut (tafsir dan takwil) menunjukkan penjelasan
tentang makna suatu lafazh tertentu dan berusaha mengungkap makna
dibalik lafazh tersebut. Penulis kitab al-Qamus menyatakan,
“Seseorang menakwilkan suatu ucapan, artinya ia merenungkannya, mengira-ngira,
dan menafsirkannya[5].”
Menurut pendapat yang masyhur kata takwil dari segi bahasa adalah
sama dengan arti kata tafsir, yaitu menerangkan dan menjelaskan dengan
pengertian kata takwil dapat mempunyai arti:
a.
Kembali
atau mengembalikan
b.
Memalingkan
c.
Menyiasati
Takwil secara
istilah adalah mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni
menerangkan apa yang dimaksudnya.[6]
Jadi,
mentakwilkan al-Quran adalah membelokkan atau memalingkan lafazh-lafazh atau
kalimat-kalimat yang ada dalam al-Quran dari makna lahirnya ke makna lainnya,
sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai
dengan jiwa ajaran al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
Para ahli
tafsir menyatakan secara umum ada kesesuaian antara dua kata tersebut (tafsir
dan takwil). Akan tetapi mereka melihat perbedaan antara kedua kata tersebut. Ada
yang menyamakan takwil dengan tafsir, dan ada pendapat ulama yang
membedakannya. Ulama yang berpendapat bahwa takwil itu berbeda dengan tafsir
adalah melahirkan tiga argument;
a)
Takwil
membahas makna dzahir untuk kemudian dicari maknna lainnya. Sedang
tafsir mencari pertentangan makna dzahir lafadz yang dimaksud.
b)
Takwil
memiliki hukum yang berdasarkan pada pemilihan mana yang ppaling benar dari
kemungkinan yang ada (dzanniah dilalah). Sedangkan tafsir memiliki hukum
pasti (qoth’iah dilalah).
c)
Takwil
adalah petunjuk penjelasan suatu lafadz yang berdasrkan rasio (‘aqli).
Sedangkan tafsir berdasarkan dalil syar’i (naqli).
Apabila memperhatikan kata takwil
dan juga pemakaiannya dalam al-Quran, maka kita akan mendapatkannya
memiliki makna lain yang tidak sama dengan makna terminologis dari kata tafsir.
Al-Quran tidak membedakan antara kata takwil dengan tafsir
kecuali dalam batasan dan perincian-perincian tertentu. Agar kita bisa memahami
makna kata takwil, maka kita harus mengetahui makna terminologisnya yang
terdapat dalam al-Quran.
Kata takwil terdapat dalam al-Quran sebanyak tujuh kali :
1.
Pada
surah Ali Imran, firman Allah Swt:
Dialah
yang menurunkan kitab (al-Quran kepada kamu). Diantara (isi)-nya ada ayat-ayat
yang muhkamat, ituah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padaha tidak ada yang mengetahui
takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang
berakal.310
2.
Pada
surah an-Nisa, firman Allah Swt:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, daln Ulil Amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.311
3.
Pada
surah al-A’raf, Allah Swt berfirman:
Dan
sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (al-Quran) kepada mereka yang
Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali
(terlaksananya kebenaran) al-Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran
pemberitaan al-Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu,
“Sesungguhnya telah datang Rasul-Rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah
bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat
beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?” Sungguh mereka telah
merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang
mereka ada-adakan.312
4.
Pada
surah Yunus, Allah Swt berfirman:
Bahkan
yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang belum mereka mengetahuinya dengan
sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah
orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah
bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.313
5. Pada surah yusuf,
disebutkan dalam firman Allah Swt:
Dan
demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi)dan diajarkan-Nya
kepadamu sebagian dari tabir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya
kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagai mana Dia telah menyempurnakan
nikmat-Nya kepada kedua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.314
6. Pada surah
al-Isra, firman Allah Swt:
Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (ahanu
ta’wila).315
7. Pada surah
al-Kahfi, firman-Nya:
Khidir
berkata,”Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, Aku akan memberitahukan kepadamu
tujuan (takwil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”316
Dengan
mempelajari ayat di atas, maka kita akan mengetahui bahwa kata takwil bukan hanya bermakna
tafsir dan penjelasan tentang makna suatu lafazh tetapi makna
seperti itu (tafsir) hanya terdapat pada ayat yang pertama saja. Hal itu karena
takwil pada ayat yang pertama berkaitan dengan ayat-ayat samar (mutasyabih).
Oleh karena itu, para ahli tafsir dari ayat ini mengatakan bahwa takwil dari
ayat mutasyabihah berarti adalah tafsir dan penjelasan makna ayat
tersebut. Ayat itu sendiri menunjukkan ketidak bolehan menafsirkan ayat-ayat
samar. Ada beberapa bagian dari al-Quran yang untuk memahaminya sangat sulit
sangat, dan tidak ada yang mampu memahaminya dengan benar kecuali Allah dan
orang-orang yang diberikan kemampuan ilmu dan pemahaman yang tinggi, apalagi
untuk menentukan dua kemungkinan, apakah suatu ayat itu berhenti pada lafazh
tertentu (waqof ) atau terus berlanjut ke kalimat sesudahnya (washol).
Adapun bagian al-Quran yang mudah untuk dipahami dan ditafsirkan serta
diketahui maknanya oleh manusia awam, maka ayat tersebut disebut dengan
ayat-ayat yang jelas muhkam).
Dari analisis di atas, dapat diberikan
dua kesimpulan. Pertama, lafadz takwil terdapat dalam al Qur’an dengan
makna ‘segala sesuatu yang ditakwilkan kepada-Nya’, dan bukan bermakna ‘tafsir’.
Kedua, bahawasannya kekhususan
untuk mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih hanya bagi Allah dan orang-orang
diberikan pemahaman ilmu yang baik dan mendalam. Namun bukan berarti ayat-ayat mutasyabih
tidak memiliki makna yang dapat
dipahami, dan bukan berarti hanya Allah yang mengetahui maksud dari lafadz ayat
tersebut dan penfsirannya. Yakni, hanya
Allah SWT yang mengetahui maksud serta batasan dan hakikat maknanya.
Oleh karena itu, selama dapat diikuti dan atau dipahami, maka ayat mutasyabihah
tentulah memiliki makna yang dipahami. Karena ia bagian dari al Qur’an yang
tujuan diturunkannya memberikan petunjuk kepada umat manusia dan sebagai
pemberi keterangan atas segala sesuatu. Hal ini berakar pada friman Allah SWT
Q.S. Ali-Imran ayat 7 :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ
هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ
زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya:“Dialah
yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,
itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
2.
Perbedaan
Tabular Perbedaan Antara Tafsir dan
Takwil[7]
NO
|
Tafsir
|
Takwil
|
1
|
Bersifat Umum
(ayat-ayat
terdapat ambigu atau musyakkilah)
|
Bersifat
Khusus
(Seperti ayat
Mutsyabihah dan lain-lain)
|
2
|
Menerangkan
melalui riwayat
|
Melalui
pendekatan dirayah (kemampuan ilmu) dan berfikir rasional.
|
3
|
Menerangkan
makna yang tersurat (bil ibarah)
|
Menerangkan
makna tersirat (bil isyarah)
|
4
|
Berhubungan
dengan makna-makna atau lafadz biasa-biasa saja
|
Berhubungan
dengan makna khusus
|
5
|
Penjelasan
makanya telah diberikan oleh al Quran sendiri
|
Penjelasan
maknanya diperoleh melalui istinbath (panggilan) dengan memanfaatkan
ilmu-ilmu alatnya
|
6
|
Tafsir
penjelasan lebih lanjut bagi takwil. Bagi tafsir, sejauh ada dalil yang
menguatkan penafsiran, maka boleh mengatakan “Demikianlah yang dikhendaki
Allah SWT.
|
Takwil hanya
menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan-kemungkinan makna yang
dimiliki ayat (lafadz), sehingga tidak boleh menyatakan, “Demikianlah yang
dikehendaki oleh Allah swt”.
|
7
|
Tafsir
mencari pertentangan makna dzahir lafadz yang dimaksud.
|
Takwil
membahas makna dzahir untuk kemudian dicari maknna lainnya[8].
|
8
|
Tafsir
memiliki hukum pasti (qoth’iah dilalah)
|
Takwil
memiliki hukum yang berdasarkan pada pemilihan mana yang ppaling benar dari
kemungkinan yang ada (dzanniah dilalah)[9].
|
9
|
Tafsir
berdasarkan dalil syar’i (naqli)
|
Takwil adalah
petunjuk penjelasan suatu lafadz yang berdasrkan rasio (‘aqli)[10].
|
3.
Tema Pembahasan
a)
Tafsir Sebagai Sebuah Ilmu
Pengertian tafsif dengan kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan
adalah ilmu yang di dalamnya membahas al-Quran sebagai firman Allah (kalamullah).
Penjelasan pengertian tersebut adalah bahwasanya al-Quran memiliki
beberapa jenis pengertian. Terkadang ia dianggap sebagai sebuah kumpulan huruf
yang ditulis dalam lembaran-lembaran kertas, terkadang dianggap sebagai
kumpulan bunyi (suara) yang dibaca dan diulang-ulang dengan lisan, serta
terkadang pula dianggap sebagai firman Allah.
Semua jenis di atas bermuara pada suatu topik yang merupakan ilmu
pengetahuan yang terhimpun dalam beberapa pembahasan.
Al-Quran yang dianggap sebagai kumpulan huruf yang ditulis dalam
lembaran kertas merupakan bagian dari salah satu topik ilmu pengetahuan, yaitu
ilmu menulis al-Quran, yang di dalamnya dijelaskan kaidah-kaidah menulis nas
al-Quran dengan benar.
Al-Quran yang dianggap sebagai kumpulan suara yang dibaca merupakan
bagian dari ilmu qiro’ah dan ilmu tajwid.
Al-Quran yang dianggap sebagai firman allah merupakan bagian dari
ilmu tafsir.
Ilmu tafsir sendiri mencakup segala pembahasan yang berkaitan
dengan al-Quran dalam kedudukannya sebagai firman Allah. Akan tetapi,dalam
pembahasan ilmu tafsir, tidak terdapat pembahasan tentang kaidah cara menulis
huruf yang baik atau cara membaca yang baik karena menulis dan membaca bukan
dari sifat nas al-Quran dalam kedudukannya sebagai firman Allah.
Akan tetapi yang termasuk ke dalam pembahasan ilmu tafsir adalah
sebagai berikut.
1)
Pembahasan
tentang dalil-dalil yang terdapat dalam setiap lafazh atau kalimat yang
terdapat dalam al-Quran karena makna yang terkandung di dalamnya menunjukkan
bahwa lafazh al-Quran memang benar merupakan firman Allah dan bukan
hanya huruf atau bunyi suara bacaan biasa.
2)
Pembahasan
tentang kemukjizatan al-Quran dan mengungkap aspek-aspek kemukjizatan al-Quran
yang beragam. Hal itu karena kemukjizatan adalah bagian dari sifat al-Quran
dalam posisinya sebagai ucapan yang menunjukkan maksud tertentu.
3)
Pembahasan
tentang sebab-sebab turunnya (Asbabun Nuzul) karena ketika mempelajari
sebab-sebab turunnya yang tertentu, kita menganggapnya sebagai bagian dari
firman Allah, atau ia merupakan lafazh yang menunjukkan makna tertentu,
karena apa yang bukan bagian dari ucapan dan tidak menunjukkan makna tertentu
tidak akan berkaitan dengan suatu kejadian tertentu yang merupakan sebab
turunnya ayat tersebut.
4)
Pembahasan
tentang nasikh, mansukh, khusus, umum, bersyarat, dan mutlak.
Sesungguhnya semua pembahasan tersebut mempelajari nas al-Quran dengan
kedudukannya sebagai sebuah firman yang menunjukkan makna tertentu.
5)
Pembahasan
tentang pengaruh al-Quran dalam sejarah, perannya yang besar dalam membangun
kepribadian manusia dan memberikan petunjuk kepada mereka. Sesungguhnya
pengaruh dan peranan al-Quran tersebut menunjukkan dinamika al-Quran dalam
kedudukannya sebagai firman Allah dan bukan hanya sebagai kumpulan huruf yang
ditulis dan suara yang dibaca.
6)
Dan,
pembahasan yang lainnya yang memiliki keterkaitan dengan al-Quran dalam
kedudukannya sebagai firman Allah.
Dari definisi
ilmu tafsir di atas, kita juga memperoleh batasan bahwa poros pembahsan ilmu
tafsir berpusar pada al-Quran dalam posisinya sebagai firman Allah.
Dari pembahasan diatas,
kita dapat mengetahui bahwa perhubungan ilmu nasikh dan mansukh, ilmu
sebab turun ayat, dan ilmu kemukjizatan al-Quran dengan pembahasan yang
menyangkut topik-topik tersebut tidak berarti menjadikan semua jenis disiplin
ilmu tersebut di bawah naungan satu disiplin ilmu tafsir. Akan tetapi, pada
hakikatnya, semua disiplin ilmu tersebut merupakan bagian dari ilmu tafsir.
Jika memperhatikan, maka kita akan mengetahui bahwa setiap disiplin ilmu
tersebut memiliki tujuan yang hendak diwujudkan, yang semuanya berkaitan dengan
pembahasan tentang firman Allah. Dalam ilmu mukjizat al-Quran, dipelajari firman
Allah dalam al-Quran yang dikaitkan dengan dengan kemampuan-kemampuan yang
dimiliki oleh manusia. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa al-Quran
berada di atas seluruh kemampuan umat manusia. Itulah yang dimaksud dengan
mukjizat al-Quran. Dalam ilmu sebab turun ayat, dipelajari firman Allah dalm
al-Quran yang berkaitan dengan bernagai kejadian dan peristiwa yang berkaitan
dengan penyebab diturunkannya ayat al-Quran. Demikianlah proses penurunan
al-Quran dalam ayat-ayat yang lain.
b)
Tafsir
Pada Masa Rasulullah saw
1.
Bangsa
Arab tidak Memahami al Qur’an Secara Rinci
Ada beberapa hadist yang menerangkan bahwa bangsa Arab tidak
memahami al Quran secara rinci. Penulis mendeskripsikannya dalam bebrapa
riwayat hadist. Seperti riwayat Ibnu Abbas berkata, “Sebelumnya saya tidak
mengetahui apa arti ‘fathirus samawat’ hingga akhirnya datang dua orang
dar pedalaman dan berkata salah seorang dari mereka, ‘Ana fathartuha’,
artinya ‘ana ibda’tuha’ (saya memulainya)”. Masih riwayat dari Ibnu
‘Abbas dalam kitab Tafsir At Thabari, ia beratnya kepada Abu Jildi
tentang makna al-Barq (kilat) pada ayat ke-12 sura ar Ra’d. Kemudian ia
menyebutkan arti kata tersebut adalah al-mathar (hujan).
Dalam hadist riwayat imam Bukhari, diceritakan bahwa Addi bin Hatim
belum memahami makna firman Allah SWT,…”dan makan minumlah hingga terang
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”[11].
Kemudian ia mengambil sebuah tali berwarna hitam, dan pada pertengahan malam ia
memperhatikan tali tersebut namun tidak merasa melihatnya dengan jelas. Ketika
menjelang pagi, Rasulullah saw pun mejelaskan tentang maksud ayat tersebut.
2.
Peran
Rasulullah SAW dalam Ilmu Tafsir
Pada masa Rasulullah ketika masih hidup, semua permasalah sahabat
tentang al Quran langsung ditanyakan kepada Rasulullah saw. Sehingga rasulullah
menjadi sentral mufassir dari berbagai permasalahan yang masih bias
dalam memahami teks al Qur’an. Hubungannya dengan hal itu, ia tidak lantas
menafsiri seluruh ayat dalam al Qur’an[12]. Rasulullah
menafsirkan dalam dua tahapan. Pertama, menafsirkan secara umum sebatas
yang diperlukan ketika itu sesuai kejadian. Kedua, menafsirkan secara khusus
dan menyeluruh, dengan maksud menciptakan generasi penerus pembawa misi al
Qur’an sehingga menjadi sumber rujukan, agar tidak dipahami dengan kemampuan
berfikir sendiri dan atau penafsiran jahiliah.
3.
Ahlul
Bait Sebagai Sumber Pemikiran
Ahlu bait Rasulullah menjadi fundamental sebagai sumber pemikiran,
banyak beberapa hadist yang meriwayatkan pesan menjaga ahlul bait dan sumber
kebenaran setelah al Qur’an. Seperti hadist yang teradapat Shahih Turmudzi,
2:308, At Turmudzi, 2:298[13]
dan lan sebagainya.
c)
Tafsir
Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Pada periode ini, (tafsir) al Quran
mengalami problem berupa bahasa dan sejarah. Sehingga kedua hal ini menentukan
makna kata al Quran. Dari segi bahasa dan sejarah problem itu menjadi karekteristik terangkum pada point
berikut; 1) Kedudukan bahasa dari lafadz, 2) Perbandingan lafadz yang
berpengaruh terhadap kedudukan bahasa dan merubah maknanya, 3) Perbandinagan
berupa keadaan.
Sumber-sumber
pengetahuan tafsir pada masa ini :
1.
Al
Qur’an
2.
Riwayat
dari Rasulullah saw tentang penafsiran al Quran
3.
Riwayat
sebagaian sahabat yang hidup ketika peristiwa-peristiwa penyebab diturunkannya
al Qur’an terjadi. Sehingga hal ini dianggap sebagai bagian dari hal yang
memberikan batasan makna al Qur’an.
4.
Pengetahuan
bahasa Arab yang teradapat dalam ucapan-ucapan bangsa Arab dengan logat
beragam.
5.
Ucapan-ucapan
Ahlulkitab dari bangsa Yahudi dan Nasarani. Karena al Quran membahas dua bangsa
tersebut; 1) Quran banyak bercerita kejadian dan berbagai peristiwa pada
masa-masa Nabi terdahulu sebelum Islam datang, 2) Qur’an banyak mengkeritik
adat dan tradisi kehidupan para Ahlulkitab.
d)
Tafsir
dalam Madzhab Ahlulbait
Metodologi
ahlul bait dalam tafsir, terbagi menjadi dua. Pertama, sudut pandangnya
terhadap al Quran. Kedua,sudut pandang secara umum terhadap retorika
penetapan kebenaran dalam memahami al Qur’an, syari’at Islam dan Sunah Nabawi.
Sudut pandang pertama, terbagi dalam
beberapa hal yaitu ;
1.
Kemurnian
teks-teks al Qur’an
2.
Qur’an
adalah refrensi umum (marja’ al-‘am) bagi seluruh risalah Islam
Sedangkan
pada sudut pandang kedua, diklasifikasikan sebagai berikut ini ;
1.
Qur’an
adalah penentu kebenaran dan kebatilan
2.
Sebagian
riwayat ahlul bait, segala sesuatu dalam syariat Islam memiliki dasar dalam
Al-Qur’an.
3.
Menjadikan
al-Qur’an sebagai acuan bagi semua persyaratan, aturan, perjanjian dan akad.
3.
Urgensi
Mempelajari ilmu
tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah pada Q.S Shad ayat 29[14] dan
Q.S. Muhammad SAW ayat 24[15]. Mengapa kemudian tafsir menjadi sangat urgen?
Karena Al-Qur’an adalah pedoman hidup kita. Ia adalah kompas dan peta yang
harus komperhensif dan terperinci. Mengetahui arti yang sudah jelas dan
mengungkap arti yang masih bersifat global menjadi mutlak dilakukan. Al Quran
masih bersifat mujmal (global)
dan ada beberapa ayat yang harus dipahami secara lebih detail lagi dan kemudian
menjadi utuh pemahaman kita terhadap al Quran sebagai the of life. Disinilah
urgensi tafsir menjadi tak terbantahkan eksistensinya. Adapun mengkaji
tafsirnya adalah untuk mengetahui, mamahami, dan menghayati kandungan isinya,
maksudnya, dan hikmah dari ayat-ayat Al-Qur’an. Karenanya kita pun wajib
mengetahui isinya, menghayatinya, serta yang paling penting adalah mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih lanjut, Ini
bukan hanya kewajiban ustadz, kyai, atau ulama
saja, tetapi tanggungjawab dan kewajiban seluruh dan setiap pribadi
muslim, yang mengaku dirinya muslim, yang mengaku kitab sucinya Al-Qur’an.
Adapun Ustadz, kyai, atau ulama berperan sebagai penyampai, yang menjembatani
pedoman hidup itu kepada umat Islam secara umum.
a)
Urgensi Membedakan Tafsir Leksikal (Lafzhiyah) Dan Semantik
(Ma’nawiah)
Jika
dilihat dari obyek yang ditafsirkan, tafsir dibagi menjadi dua bagian, pertama.
tafsir Leksikal[16].
Kedua, tafsir Semantik[17].
Tafsir leksikal
adalah penjelasan makna suatu lafazh dari segi bahasa, sedangkan tafsir
semantik adalah memberikan batasan-batasan subyek-subyek makna luarnya yang
bersesuaian dengan makna tersebut.
Ketika mendengar
seserang berkata, “Bahwasanya negara-negara besar memiliki persenjataan yang
canggih,” kita terkadang akan bertanya-tanya, “Apa yang dimaksud dengan
persenjataan?” Kita menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan persenjataan adalah segala sesuatu yang dapat membantu
pemiliknya untuk memaksa lawan-lawannya. Pada kesempatan lain, kita juga dapat
bertanya-tanya, “Apa jenis senjata yang dimiliki oleh negara-negara tersebut?”
Maka pertanyaan ini dapat kita jawab dengan mengatakan bahwa senjata yang
mereka miliki adalah ranjau-ranjau dan rudal-rudal yang dapat menjangkau tempat
yang jauh, atau satelit mata-mata, atau senjata pemusnah massal, atau yang
lainnya.
Pada jawaban yang
pertama, kita menafsirkan makna lafazh tersebut. Kita menyebutkan makna lafazh
tersebut dari segi bahasa. Pada jawaban yang kedua, kita menafsirkan makna
itu dengan dengan menyebutkan hal-hal yang memiliki kaitan dengan makna lafazh
tersebut secara keseluruhan. Proses penafsiran yang pertama kita sebut dengan
penafsiran leksikal atau penafsiran dari segi bahasa ; yaitu pemberian batasan
konsep-konsep lafazh tersebut. Proses penafsiran kedua kita sebut dengan
penafsiran semantik, yaitu penjemaan konsep-konsep tersebut dalam bentuk-bentuk
tertentu.
Contoh mengenai
hal tersebut banyak terdapat dalam al-Quran. Kita dapat melihat, di dalam
al-Alquran, bahwa Allah memiliki sifat hidup, Maha Mengetahui, Berkehendak,
Maha Mendengar, Maha mMelihat dan Berbicara. Kita dapat membahas
kalimat-kalimat tersebut dengan dua pembahasan berikut ini.
1)
Pembahasan
pengertian kata-kata atau frase-frase tersebut dari segi bahasa.
2)
Pembahasan
tentang perangkat-perangkat yang berkaitan dengan pengertian subyek-subyek yang
sesuai dengan sifat Allah.
Bagaimana Allah
mendengar? Apakah Dia mendengar dengan menggunakan alat indra ataukah tidak?
Bagaimana Dia mengetahui sesuatu di luar Zat-Nya?
Bagian pertama
merupakan contoh dari tafsir etimologis sementara yang kedua disebut dengan
tafsir semantik.
Contoh dari hal
ini adalah Firman-Nya:
Dan
ini(al-Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi, membenarkan
kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan
kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekkah) dan orang-orang yang di luar
lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhir tentu
beriman kepadanya (al-Quran), dan mereka selalu memelihara sembahyangnya. 305
Dan firman-Nya:
...dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia...306
Dan juga
firman-Nya:
Dan
Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu
menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.307
Dari ayat-ayat di atas, kita mendapatkan bahwa ayat-ayat tersebut
bercerita tentang segala sesuatu yang berkisar pada permasalahan al-Kitab,
besi, dan air. Penafsiran leksikal dari ayat-ayat di atas yaitu dengan
menjelaskan makna an-nuzul (turun) secara bahasa dan memberikan batasan
pengertian dari lafazh anzalna (Kami turunkan) yang terdapat pada ketiga
ayat tersebut. Kita dapat mengetahui bahwa lafazh tersebut mengandung
makna “Turun dari arah yang lebih tinggi”. Adapun penafsiran secara semantik
adalah mempelajari hakikat dari sifat inzal (penurunan) ini dan juga
jenis dari “arah yang tinggi” tersebut, yang dari tempat itulah al-Kitab,
besi, dan juga air turun, dan juga pertanyaan yang berupa, “Apakah arah itu
sesuatu yang konkret ataukah abstrak?”
b)
Urgensi dalam Kebebasan dan Keterbasan dalam Tafsir
Dalam rangka menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran secara prinsip diperlukan ilmu Tafsir. Ilmu yang dimaksud itu,
secara prinsip pula menerangkan tentang Nuzulul Ayat, keadaan-keadaannya,
kisah-kisahnya, Asbabun Nuzulnya, tertib Makiyah dan Madaniyahnya, muhkam dan
mutasyabihahnyan, naskh dan mansuknya, halal dan haramnya, wa’ad dan wa’id nya,
‘amar dan nahyunya, i’bar dan amsalnya.
Maka dengan ilmu tafsir, penafsiran
ayat-ayat dapat memberikan “penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman
Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassirin)”[18]dan
bahwa “kapasitas arti kosakata atau ayat-ayat tidak mungkin atau hampir tidak
mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat-ayat
tersebut secara berdiri sendiri”[19].
Tutntutan pemahaman ayat-ayat tersebut berlaku sepanjang zaman, dan
generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami al-Quran sebagaimana tuntutan
yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang pernah menyaksikan turunnya
Al-Quran.
Kemudian, bila disadari bahwa hasil
pemikiran seseorang bukan saja dipengaruhi o;eh tingkat kecerdasannya, tetapi
juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman,
penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial politik dan sebagainya, maka tentunya
hasil pemikiran akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa
seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami dan menafsirkan
al-Quran. Karena hal ini merupakan perintah al-Quran sendiri, sebagaimana
setiap pendapat yang diajukan seseorang berbeda dengan lainnya, harus
ditampung. Hal ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama
pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung
jawab.[20]
c)
Syarat
Mufassir
Dalam kebebasan yang bertanggung
jawab inilah yang timbul pembatasan-pembatasan
dalam penafsiran al-Quran, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang
dilakukan dalam berbagai disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat
menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan. Bahkan
dipandang dari eksistensinya yang sangat dekat dengan al-Quran karim, maka
kedudukan tafsir sangat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan itu sangat
menonjol, terutama bila disadari bahwa dinamika dan kebangkitan umat Islam baik
secara individu maupun masyarakat, terletak pada sejauh mana mereka bergantung
dan bergantung pada hidayah al-Quran, bersandar pada ajaran dan aturan yang
memuat dan akan membawa pada kebahagiaan manusia. Untuk sampainya maksud
tersebut dibutuhkan penjelasan, keterangan terperinci dan penjabaran lebih
lanjut, yakni tafsir.
Sesungguhnya
manusia (mufassir) bebas melakukan penafsiran. Namun dari segi syarat
penafsiran, khusus bagi penafsiran yang mendalam, menyentuh dan menyeluruh
ditemukan banyak syarat. Secara umum oleh Muhammad Quraish Shihab disebutkan:
1.
Pengetahuan
tentang bahasa Arab dalam berbagai bidang.
2.
Pengetahuan
tentang ilmu-ilmu al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi dan ushul fiqih.
3.
Pengetahuan
tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan.
4.
Pengetahuan
tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[21]
Bagi
mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk
menafsirkan al-Quran.[22]
Dalam
menafsirkan ayat al-Quran ada dua hal yang harus digaris bawahi yakni.
1.
Menafsirkan
berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan penafsiran ayat
al-Quran.
2.
Faktor
yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain:
a.
Subjektivitas
mufassir.
b.
Kekeliruan
dalam menetapkan metode atau kaidah.
c.
Kedangkalan
dalam ilmu-ilmu alat/bahasa
d.
Kedangkalan
pengetahuan tentang materi uraian
(pembicaraan) ayat.
e.
Tidak
memperhatikan konteks, baik Asbabun Nuzul, hubungan antara ayat, maupun kondisi
sosial masyarakat.
f.
Tidak
memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.[23]
Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan,
dibutuhkan kerjasama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama
menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Disamping apa yang telah dikemukakan di atas,
yeng mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran al-Quran, masih
ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran, khusunya
dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, dan
bahasa.[24]
Walaupin hasil penafsiran tersebut bebas dan kebebasan itu tidak
dibatasi, namun hasil tafsir dapat dikategorikan pada empat kategori:
1.
Penafsiran
yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan
bahsa mereka.
2.
Penafsiran
yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya.
3.
Penafsiran
yang tidak diketahui kecuali oleh ulama.
4.
Penafsiran
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[25]
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan, antara lain:
1.
Makna
tafsir secara terminologi terjadi perbedaan. Perbedaan itu terletak pada sesuai
tidaknya persoalan yang menjadi pembahasannya.
Sementara
Takwil adalah pengembalian sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni
menerangkan apa yang dimaksud dari suatu ayat.
2. Secara maknawi bahwa
tafsir dan takwil mempunyai perbedaan, dan perbedaan itu bukan paradoksal,
tetapi dari sifat-sifatnya.
3. Dalam melakukan
penafsiran ayat al-Quran, Islam sangat menganjurkannya, akan tetapi anjuran
dalam bentuk kebebasan tersebut dibatasi, dan pembatasan itu bukan dalam arti
mematikan semangat untuk melakukan penafsiran-penfsiran terhadap ayat al-Quran,
melainkan agar para mufassir berhati-hati dalam menjelaskan ayat-ayat dalam
al-Quran.
Dengan pembahasan ini, semoga dapat
memberikan gambaran yang lebih utuh tentang tafsir dan takwil dalam melakukan
penafsiran dan pentakwilan terhadap ayat-ayat dalam al-Quran.
4.
Contoh-contoh Tafsir dan Takwil
Contoh tafsir dan takwil, firman Allah dalam surah al-Baqarah
[2] ayat 2 yang berbunyi: لاَ رَيْبَ فِيهِ (tidak ada
keraguan di dalamnya). Jika diartikan, لاَ شَكَّ
فِيْهِ (tidak
ada kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak
ada keraguan di kalangan kaum yang beriman”maka ini adalah takwil[26].
Contoh lain, misalkan firman Allah dalam surah al-An’âm [6]
ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-mayyit (Allah
mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Jika ayat ini diartikan, “Allah
mengeluarkan burung (yang bernyawa) dari telur (yang mati/tidak bernyawa),”
maka ini tafsir. Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmin dari orang
kafir atau orang berilmu dari orang bodoh, maka ini adalah takwil[27].
Contoh lain, firman Allah dalam surah al-Fajr ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para hamba-Nya, maka itu tafsir. Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil[28].
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Tafsir
adalah, keterangan mengenai petunjuk-petunjuk yang berasal darinya dan
penjelasan mengenai makna yang diisyaratkan oleh lafazh tersebut.
2.
Takwil
adalah mentakwilkan al-Quran adalah membelokkan atau memalingkan lafazh-lafazh
atau kalimat-kalimat yang ada dalam al-Quran dari makna lahirnya ke makna
lainnya, sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok
dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW
3.
Perbedaan
tafsir dan takwil adalah :
NO
|
Tafsir
|
Takwil
|
1
|
Bersifat Umum
(ayat-ayat
terdapat ambigu atau musyakkilah)
|
Bersifat
Khusus
(Seperti ayat
Mutsyabihah dan lain-lain)
|
2
|
Menerangkan
melalui riwayat
|
Melalui
pendekatan dirayah (kemampuan ilmu) dan berfikir rasional.
|
3
|
Menerangkan
makna yang tersurat (bil ibarah)
|
Menerangkan
makna tersirat (bil isyarah)
|
4
|
Berhubungan
dengan makna-makna atau lafadz biasa-biasa saja
|
Berhubungan
dengan makna khusus
|
5
|
Penjelasan
makanya telah diberikan oleh al Quran sendiri
|
Penjelasan
maknanya diperoleh melalui istinbath (panggilan) dengan memanfaatkan
ilmu-ilmu alatnya
|
6
|
Tafsir
penjelasan lebih lanjut bagi takwil. Bagi tafsir, sejauh ada dalil yang
menguatkan penafsiran, maka boleh mengatakan “Demikianlah yang dikhendaki
Allah SWT.
|
Takwil hanya
menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan-kemungkinan makna yang
dimiliki ayat (lafadz), sehingga tidak boleh menyatakan, “Demikianlah yang
dikehendaki oleh Allah swt”.
|
7
|
Tafsir
mencari pertentangan makna dzahir lafadz yang dimaksud.
|
Takwil
membahas makna dzahir untuk kemudian dicari maknna lainnya[29].
|
8
|
Tafsir
memiliki hukum pasti (qoth’iah dilalah)
|
Takwil
memiliki hukum yang berdasarkan pada pemilihan mana yang ppaling benar dari
kemungkinan yang ada (dzanniah dilalah)[30].
|
9
|
Tafsir
berdasarkan dalil syar’i (naqli)
|
Takwil adalah
petunjuk penjelasan suatu lafadz yang berdasrkan rasio (‘aqli)[31].
|
4.
Syarat
mufassir yaitu berpengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidang,
berpengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi dan
ushul fiqih, berpengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan, dan berpengetahuan
tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat
5.
Tafsir
pada masa Rasulullah bersumber langsung kepadanya. Setelah itu bersumber kepada
Qur’an dan Ahlul Bait (sebagai sumber hadist) pada riwayat hadist sahabat dan
Tabi’in.
6.
Selain
banyaknya orang Arab dan sahabat yang tidak memahami bahasa al-Quran (meskipun
sama-sama bahasa Arab), tafsir menjadi urgen karena dalam memahami teks al
Qur’an yang utuh dan menyeluruh, dibutuhkan adanya tafsir. Dan karena al-Qur’an
adalah pedoman hidup umat manusia, sehingga jika ada kesalahan mind sheet
(pemahaman al-Qur’an) awal yang dibangun, berimplikasi kepada—meminjam istilah
hadist—dholla wa adholla (sesat dan menyesatkan).
7.
Contoh-contoh
tafsir dan takwil bisa dari Qur’an dan bahkan hadist itu sendiri. Seperti,
ayat—firman Allah dalam surah al-Fajr
ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi
segala perilaku para hamba-Nya, maka itu tafsir. Jika diartikan, Allah
memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah
Allah, maka ini adalah takwil[32].
Dan contoh berikutnya, hadist. Dalam hadist riwayat imam Bukhari, diceritakan
bahwa Addi bin Hatim belum memahami makna firman Allah SWT,…”dan makan
minumlah hingga terang benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”[33].
Kemudian ia mengambil sebuah tali berwarna hitam, dan pada pertengahan malam ia
memperhatikan tali tersebut namun tidak merasa melihatnya dengan jelas. Ketika
menjelang pagi, Rasulullah saw pun memberikan interprestasi tafsir tentang takwil
ayat tersebut.
[1]
Rif’at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta,
Bulan Bintang, 1988), hlm. 139
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Sinar Garfika (Oktober, 2005),
hlm.98
[5]
Al-Qamus, pada lema awwala.
[6]
Ibid., hlm 144.
[7]
M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), hlm. 185
[8]
M. Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Al-Huda (Maret 2006). Hlm 338-339
[9]
Ibid.
[10]
Ibid.
[11]
Q.S. Al Baqarah: 187
[12]
At Tafsir wal Mufassirin, 1:51, Dzahabi, Dar al-Kutub al-Haditsah.
[13]
“Allah merahmati ‘Ali, Ya Allah, iringkanlah kebenaran bersamanya (‘Ali) ke
manapun ia pergi”.
[14]
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
fikiran.”
[15]
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
”
[16]
makna yang bersifat tetap dan tidak terikat dengan kata lainnya (berdiri
sendiri). Makna leksikal sering disebut makna yang sesuai dengan kamus. Lihat
di http://web-bahasaindonesia.blogspot.co.id/2015/10/perbedaan-makna-leksikal-dan-makna.html
[17]
Semantik dari Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata
sema, tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang
terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata
lain, Semantik adalah pembelajaran tentang makna. Lihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Semantik.
[18]
Muhammad Husain Az-Zahaby, op.cit.,hlm.59
[19]
Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Beirut,Dar Al-Ma’rifat, t.t), hlm. 35.
[20]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran; fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat, (Bandung, Mizan, 1993, hlm. 77).
[21]
Ibid.,hlm. 79
[22]
Ibid., hlm.
[23]
Ibid.
[24]
Untuk keterangan yang panjang tentang tiga persoalan tersebut serta fungsi tiga
aspek tersewbut silakan lihat dalam M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran;
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat (Bandung, Mizan, 1993), hlm. 79.
[25]
Az-Zarkasyi. Al-Burhan fii Ulumul Qur’an, (Mesir, Isa Al-Hab Al-Halabi,
1957) hlm. 65.
[26]
http://gemakreatif.blogspot.co.id/2009/06/tafsir-dan-tawil.html
[27]
Ibid.
[28]
Ibid.
[29]
M. Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Al-Huda (Maret 2006). Hlm 338-339
[30]
Ibid.
[31]
Ibid.
[32]
Ibid.
0 komentar:
Post a Comment