Tulisan ini dengan niat Ikhlas ingin memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran agar bisa memberikan petunjuk yang lurus dalam mengamlkan ajaran Islam. Dengan jalan 'ijazah' setelah dipelajari.

Sunday, October 8, 2017

Sebuah Kontemplasi Membedah dan Menelisik Tafsir dan Takwil Sebagai Fan 'Ulumul Qur'an


الرسالة في دراسة القران الكريم
الموضوعات الدراسة :
التفسير و التأويل
 (التعريف و الفرق وموضوع المباحث والأهمية والمثال)



المؤلف ورتبها : احمد فقيه المدورى مع اخي ريان


جامعة مولانا مالك ابرهيم الإسلامية الحكومية بمالانج
برنامج الدراسات العليا
2017



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
        Dalam memahami teks al Qur’an yang utuh dan menyeluruh, dibutuhkan adanya tafsir. Kemudian munculah istilah lain dalam hal tafsir selain tafsir, yakni at Takwil. Kemudian keduanya menjadi perbincangan yang mengemuka ketika memahami Qur’an dengan cara ditafsir dan atau ditakwil. Tafsir dan takwil ini kemudian menjadi masalah pelik ketika keduanya diberikan pengertian atau digali secara epistimologi. Perbedaan keduanya “nyaris”  tidak ada, namun jika ditelisik lebih jauh tetap ditemukan perbedaan. Dalam istilah pribahasa Indonesia disebut, “sama tidak serupa”. Lebih lanjut, permasalahan ini semakin meruncing, karena keduanya memiliki urgensitas yang high class dalam memaknai al Qura’n secara kompehensif dan konkrit. Menjadi penting karena al Qur’an pedoman hidup umat manusia, sehingga jika ada kesalahan mind sheet (pemahaman al-Qur’an) awal yang dibangun, berimplikasi kepada—meminjam istilah hadist—dholla wa adholla (sesat dan menyesatkan).
        Berangkat dari hal ini, kemudian penulis mencoba membedah lebih jauh tentang tafsir dan takwil, dari segi makna , perbedaan, sejarah singkat, contoh dan urgensinya. Maka dirumuskan beberapa masalah terkait, agar memudahkan dalam memahami hal ini.

B. Rumusan Masalah
  1. Apa makna tafsir?
    2. Apa makna takwil?
          3.      Bagaimana perbedaan tafsir dan takwil?
          4.      Apa saja syarat mufassir?
          5.      Bagaimana tafsir pada masa Rasulullah, Ahlul Bait, Sahabat dan Tabi’in?
          6.      Apa urgensi tafsir?
          7.      Bagaimana contoh-contoh ayat-ayat tafsir dan takwil?


BAB II
PEMBAHASAN
1.   Pengertian Tafsir dan Takwil

a)   Makna tafsir dari segi Etimologi dan Terminologi
            Pengertian tafsir secara etimologi adalah penjelasan dan keterangan (al-bayan dan al-kasyf)[1], keterangan sesuatu (as-syarhu) atau “tafsirah”[2] yatiu alat kedokteran yang mengungkapkan penyakit dari seorang pasien. Oleh karena itu tafsir, “ dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat al Quran[3].
Di dalam al-Quran sendiri, kata tafsir memang bermakna demikian. Allah Swt berfirman:
            “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,           melainkan. Kami datangkan suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.

            Maka, tafsir secara terminologi adalah keterangan mengenai petunjuk-petunjuk yang berasal darinya dan penjelasan mengenai makna yang diisyaratkan oleh lafazh tersebut[4].

            Suatu kata tidak dapat dikatakan telah mengalami proses penafsiran jika tidak terdiri dari  kata yang masih samar dan belum jelas maknanya. Jika ada orang yang mendengar suatu ucapan yang memiliki makna zhahir yang secara spontan dapat dipahami kemudian memberitahukan makna dari ucapan tersebut, maka makna yang disampaikannya itu bukanlah penafsiran. Hal itu karena pada hakikatnya, ia tidak mengungkap atau menjelaskan sesuatu yang sebelumnya masih samar. Sesuatu dapat dikatakan telah mengalami proses penafsiran jika seseorang telah berusaha dan bersungguh-sungguh untuk mengungkap dan menjelaskan ucapan yang masih terlihat samar dan rancu. Dengan ungkapan lain, kita dapat mengatakan bahwa siapapun yang menjelaskan makna suatu lafazh tertentu berarti ia tengah melakukan proses penafsiran. Adapun jika makna dari lafazh tersebut sudah jelas dan zhahir, maka lafazh tersebut tidak bisa dikatakan mengalami proses penjelasan dan penafsiran.
b)  Makna takwil dari segi Etimologi dan Terminologi
Lafazh  takwil timbul beriringan dengan lafazh tafsir dalam pembahasan tentang al-Quran dikalang para ahli tafsir. Para ahli tafsir menganggap takwil pada intinya sama dengan tafsir dari segi makna masing-masing. Kedua kata tersebut (tafsir dan takwil) menunjukkan penjelasan tentang makna suatu lafazh tertentu dan berusaha mengungkap makna dibalik lafazh tersebut. Penulis kitab al-Qamus menyatakan, “Seseorang menakwilkan suatu ucapan, artinya ia merenungkannya, mengira-ngira, dan menafsirkannya[5].”
Menurut pendapat yang masyhur kata takwil dari segi bahasa adalah sama dengan arti kata tafsir, yaitu menerangkan dan menjelaskan dengan pengertian kata takwil dapat mempunyai arti:
a.         Kembali atau mengembalikan
b.        Memalingkan
c.         Menyiasati
Takwil secara istilah adalah mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudnya.[6]
Jadi, mentakwilkan al-Quran adalah membelokkan atau memalingkan lafazh-lafazh atau kalimat-kalimat yang ada dalam al-Quran dari makna lahirnya ke makna lainnya, sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
Para ahli tafsir menyatakan secara umum ada kesesuaian antara dua kata tersebut (tafsir dan takwil). Akan tetapi mereka melihat perbedaan antara kedua kata tersebut. Ada yang menyamakan takwil dengan tafsir, dan ada pendapat ulama yang membedakannya. Ulama yang berpendapat bahwa takwil itu berbeda dengan tafsir adalah melahirkan tiga argument;
a)      Takwil membahas makna dzahir untuk kemudian dicari maknna lainnya. Sedang tafsir mencari pertentangan makna dzahir lafadz yang dimaksud.
b)      Takwil memiliki hukum yang berdasarkan pada pemilihan mana yang ppaling benar dari kemungkinan yang ada (dzanniah dilalah). Sedangkan tafsir memiliki hukum pasti (qoth’iah dilalah).
c)      Takwil adalah petunjuk penjelasan suatu lafadz yang berdasrkan rasio (‘aqli). Sedangkan tafsir berdasarkan dalil syar’i (naqli). 

            Apabila memperhatikan kata takwil dan juga pemakaiannya dalam al-Quran, maka kita akan mendapatkannya memiliki makna lain yang tidak sama dengan makna terminologis dari kata tafsir. Al-Quran tidak membedakan antara kata takwil dengan tafsir kecuali dalam batasan dan perincian-perincian tertentu. Agar kita bisa memahami makna kata takwil, maka kita harus mengetahui makna terminologisnya yang terdapat dalam al-Quran.
Kata takwil terdapat dalam al-Quran sebanyak tujuh kali :
1.                       Pada surah Ali Imran, firman Allah Swt:
Dialah yang menurunkan kitab (al-Quran kepada kamu). Diantara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat, ituah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padaha tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.310

2.                       Pada surah an-Nisa, firman Allah Swt:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, daln Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.311
3.                       Pada surah al-A’raf, Allah Swt berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) al-Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan al-Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu, “Sesungguhnya telah datang Rasul-Rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?” Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.312
4.                       Pada surah Yunus, Allah Swt berfirman:
Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang belum mereka mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.313
5.           Pada surah yusuf, disebutkan dalam firman Allah Swt:
Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi)dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari tabir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagai mana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.314
6.           Pada surah al-Isra, firman Allah Swt:
              Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (ahanu ta’wila).315
7.           Pada surah al-Kahfi, firman-Nya:
              Khidir berkata,”Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan (takwil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”316
              Dengan mempelajari ayat di atas, maka kita akan mengetahui  bahwa kata takwil bukan hanya bermakna tafsir dan penjelasan tentang makna suatu lafazh tetapi makna seperti itu (tafsir) hanya terdapat pada ayat yang pertama saja. Hal itu karena takwil pada ayat yang pertama berkaitan dengan ayat-ayat samar (mutasyabih). Oleh karena itu, para ahli tafsir dari ayat ini mengatakan bahwa takwil dari ayat mutasyabihah berarti adalah tafsir dan penjelasan makna ayat tersebut. Ayat itu sendiri menunjukkan ketidak bolehan menafsirkan ayat-ayat samar. Ada beberapa bagian dari al-Quran yang untuk memahaminya sangat sulit sangat, dan tidak ada yang mampu memahaminya dengan benar kecuali Allah dan orang-orang yang diberikan kemampuan ilmu dan pemahaman yang tinggi, apalagi untuk menentukan dua kemungkinan, apakah suatu ayat itu berhenti pada lafazh tertentu (waqof ) atau terus berlanjut ke kalimat sesudahnya (washol). Adapun bagian al-Quran yang mudah untuk dipahami dan ditafsirkan serta diketahui maknanya oleh manusia awam, maka ayat tersebut disebut dengan ayat-ayat yang jelas muhkam).

            Dari analisis di atas, dapat diberikan dua kesimpulan. Pertama, lafadz takwil terdapat dalam al Qur’an dengan makna ‘segala sesuatu yang ditakwilkan kepada-Nya’, dan bukan bermakna ‘tafsir’.  Kedua, bahawasannya kekhususan untuk mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih hanya bagi Allah dan orang-orang diberikan pemahaman ilmu yang baik dan mendalam. Namun bukan berarti ayat-ayat mutasyabih  tidak memiliki makna yang dapat dipahami, dan bukan berarti hanya Allah yang mengetahui maksud dari lafadz ayat tersebut dan penfsirannya. Yakni,  hanya Allah SWT yang mengetahui maksud serta batasan dan hakikat maknanya. Oleh karena itu, selama dapat diikuti dan atau dipahami, maka ayat mutasyabihah tentulah memiliki makna yang dipahami. Karena ia bagian dari al Qur’an yang tujuan diturunkannya memberikan petunjuk kepada umat manusia dan sebagai pemberi keterangan atas segala sesuatu. Hal ini berakar pada friman Allah SWT Q.S. Ali-Imran ayat 7 :

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ       
Artinya:“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada                   ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)           mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,          maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk    menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui      ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami       beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami".           Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang          berakal”.

2.      Perbedaan
Tabular Perbedaan Antara Tafsir dan Takwil[7]
NO
Tafsir
Takwil
1
Bersifat Umum
(ayat-ayat terdapat ambigu atau musyakkilah)
Bersifat Khusus
(Seperti ayat Mutsyabihah dan lain-lain)
2
Menerangkan melalui riwayat
Melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu) dan berfikir rasional.
3
Menerangkan makna yang tersurat (bil ibarah)
Menerangkan makna tersirat (bil isyarah)
4
Berhubungan dengan makna-makna atau lafadz biasa-biasa saja
Berhubungan dengan makna khusus
5
Penjelasan makanya telah diberikan oleh al Quran sendiri
Penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath (panggilan) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya
6
Tafsir penjelasan lebih lanjut bagi takwil. Bagi tafsir, sejauh ada dalil yang menguatkan penafsiran, maka boleh mengatakan “Demikianlah yang dikhendaki Allah SWT.
Takwil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan-kemungkinan makna yang dimiliki ayat (lafadz), sehingga tidak boleh menyatakan, “Demikianlah yang dikehendaki oleh Allah swt”.
7
Tafsir mencari pertentangan makna dzahir lafadz yang dimaksud.
Takwil membahas makna dzahir untuk kemudian dicari maknna lainnya[8].
8
Tafsir memiliki hukum pasti (qoth’iah dilalah)
Takwil memiliki hukum yang berdasarkan pada pemilihan mana yang ppaling benar dari kemungkinan yang ada (dzanniah dilalah)[9].
9
Tafsir berdasarkan dalil syar’i (naqli)
Takwil adalah petunjuk penjelasan suatu lafadz yang berdasrkan rasio (‘aqli)[10].


       3.      Tema Pembahasan

       a)      Tafsir Sebagai Sebuah Ilmu
Pengertian tafsif dengan kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan adalah ilmu yang di dalamnya membahas al-Quran sebagai firman Allah (kalamullah).
Penjelasan pengertian tersebut adalah bahwasanya al-Quran memiliki beberapa jenis pengertian. Terkadang ia dianggap sebagai sebuah kumpulan huruf yang ditulis dalam lembaran-lembaran kertas, terkadang dianggap sebagai kumpulan bunyi (suara) yang dibaca dan diulang-ulang dengan lisan, serta terkadang pula dianggap sebagai firman Allah.
Semua jenis di atas bermuara pada suatu topik yang merupakan ilmu pengetahuan yang terhimpun dalam beberapa pembahasan.
Al-Quran yang dianggap sebagai kumpulan huruf yang ditulis dalam lembaran kertas merupakan bagian dari salah satu topik ilmu pengetahuan, yaitu ilmu menulis al-Quran, yang di dalamnya dijelaskan kaidah-kaidah menulis nas al-Quran dengan benar.
Al-Quran yang dianggap sebagai kumpulan suara yang dibaca merupakan bagian dari ilmu qiro’ah dan ilmu tajwid.
Al-Quran yang dianggap sebagai firman allah merupakan bagian dari ilmu tafsir.
Ilmu tafsir sendiri mencakup segala pembahasan yang berkaitan dengan al-Quran dalam kedudukannya sebagai firman Allah. Akan tetapi,dalam pembahasan ilmu tafsir, tidak terdapat pembahasan tentang kaidah cara menulis huruf yang baik atau cara membaca yang baik karena menulis dan membaca bukan dari sifat nas al-Quran dalam kedudukannya sebagai firman Allah.
Akan tetapi yang termasuk ke dalam pembahasan ilmu tafsir adalah sebagai berikut.
1)      Pembahasan tentang dalil-dalil yang terdapat dalam setiap lafazh atau kalimat yang terdapat dalam al-Quran karena makna yang terkandung di dalamnya menunjukkan bahwa lafazh al-Quran memang benar merupakan firman Allah dan bukan hanya huruf atau bunyi suara bacaan biasa.
2)      Pembahasan tentang kemukjizatan al-Quran dan mengungkap aspek-aspek kemukjizatan al-Quran yang beragam. Hal itu karena kemukjizatan adalah bagian dari sifat al-Quran dalam posisinya sebagai ucapan yang menunjukkan maksud tertentu.
3)      Pembahasan tentang sebab-sebab turunnya (Asbabun Nuzul) karena ketika mempelajari sebab-sebab turunnya yang tertentu, kita menganggapnya sebagai bagian dari firman Allah, atau ia merupakan lafazh yang menunjukkan makna tertentu, karena apa yang bukan bagian dari ucapan dan tidak menunjukkan makna tertentu tidak akan berkaitan dengan suatu kejadian tertentu yang merupakan sebab turunnya ayat tersebut.
4)      Pembahasan tentang nasikh, mansukh, khusus, umum, bersyarat, dan mutlak. Sesungguhnya semua pembahasan tersebut mempelajari nas al-Quran dengan kedudukannya sebagai sebuah firman yang menunjukkan makna tertentu.
5)      Pembahasan tentang pengaruh al-Quran dalam sejarah, perannya yang besar dalam membangun kepribadian manusia dan memberikan petunjuk kepada mereka. Sesungguhnya pengaruh dan peranan al-Quran tersebut menunjukkan dinamika al-Quran dalam kedudukannya sebagai firman Allah dan bukan hanya sebagai kumpulan huruf yang ditulis dan suara yang dibaca.
6)      Dan, pembahasan yang lainnya yang memiliki keterkaitan dengan al-Quran dalam kedudukannya sebagai firman Allah.
Dari definisi ilmu tafsir di atas, kita juga memperoleh batasan bahwa poros pembahsan ilmu tafsir berpusar pada al-Quran dalam posisinya sebagai firman Allah.

       Dari pembahasan diatas, kita dapat mengetahui bahwa perhubungan ilmu nasikh dan mansukh, ilmu sebab turun ayat, dan ilmu kemukjizatan al-Quran dengan pembahasan yang menyangkut topik-topik tersebut tidak berarti menjadikan semua jenis disiplin ilmu tersebut di bawah naungan satu disiplin ilmu tafsir. Akan tetapi, pada hakikatnya, semua disiplin ilmu tersebut merupakan bagian dari ilmu tafsir. Jika memperhatikan, maka kita akan mengetahui bahwa setiap disiplin ilmu tersebut memiliki tujuan yang hendak diwujudkan, yang semuanya berkaitan dengan pembahasan tentang firman Allah. Dalam ilmu mukjizat al-Quran, dipelajari firman Allah dalam al-Quran yang dikaitkan dengan dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa al-Quran berada di atas seluruh kemampuan umat manusia. Itulah yang dimaksud dengan mukjizat al-Quran. Dalam ilmu sebab turun ayat, dipelajari firman Allah dalm al-Quran yang berkaitan dengan bernagai kejadian dan peristiwa yang berkaitan dengan penyebab diturunkannya ayat al-Quran. Demikianlah proses penurunan al-Quran dalam ayat-ayat yang lain.

b)      Tafsir Pada Masa Rasulullah saw
1.      Bangsa Arab tidak Memahami al Qur’an Secara Rinci
Ada beberapa hadist yang menerangkan bahwa bangsa Arab tidak memahami al Quran secara rinci. Penulis mendeskripsikannya dalam bebrapa riwayat hadist. Seperti riwayat Ibnu Abbas berkata, “Sebelumnya saya tidak mengetahui apa arti ‘fathirus samawat’ hingga akhirnya datang dua orang dar pedalaman dan berkata salah seorang dari mereka, ‘Ana fathartuha’, artinya ‘ana ibda’tuha’ (saya memulainya)”. Masih riwayat dari Ibnu ‘Abbas dalam kitab Tafsir At Thabari, ia beratnya kepada Abu Jildi tentang makna al-Barq (kilat) pada ayat ke-12 sura ar Ra’d. Kemudian ia menyebutkan arti kata tersebut adalah al-mathar (hujan).
Dalam hadist riwayat imam Bukhari, diceritakan bahwa Addi bin Hatim belum memahami makna firman Allah SWT,…”dan makan minumlah hingga terang benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”[11]. Kemudian ia mengambil sebuah tali berwarna hitam, dan pada pertengahan malam ia memperhatikan tali tersebut namun tidak merasa melihatnya dengan jelas. Ketika menjelang pagi, Rasulullah saw pun mejelaskan tentang maksud ayat tersebut.

2.      Peran Rasulullah SAW dalam Ilmu Tafsir
Pada masa Rasulullah ketika masih hidup, semua permasalah sahabat tentang al Quran langsung ditanyakan kepada Rasulullah saw. Sehingga rasulullah menjadi sentral mufassir dari berbagai permasalahan yang masih bias dalam memahami teks al Qur’an. Hubungannya dengan hal itu, ia tidak lantas menafsiri seluruh ayat dalam al Qur’an[12]. Rasulullah menafsirkan dalam dua tahapan. Pertama, menafsirkan secara umum sebatas yang diperlukan ketika itu sesuai kejadian. Kedua, menafsirkan secara khusus dan menyeluruh, dengan maksud menciptakan generasi penerus pembawa misi al Qur’an sehingga menjadi sumber rujukan, agar tidak dipahami dengan kemampuan berfikir sendiri dan atau penafsiran jahiliah.

3.      Ahlul Bait Sebagai Sumber Pemikiran
Ahlu bait Rasulullah menjadi fundamental sebagai sumber pemikiran, banyak beberapa hadist yang meriwayatkan pesan menjaga ahlul bait dan sumber kebenaran setelah al Qur’an. Seperti hadist yang teradapat Shahih Turmudzi, 2:308, At Turmudzi, 2:298[13] dan lan sebagainya.

c)      Tafsir Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
      Pada periode ini, (tafsir) al Quran mengalami problem berupa bahasa dan sejarah. Sehingga kedua hal ini menentukan makna kata al Quran. Dari segi bahasa dan sejarah problem itu  menjadi karekteristik terangkum pada point berikut; 1) Kedudukan bahasa dari lafadz, 2) Perbandingan lafadz yang berpengaruh terhadap kedudukan bahasa dan merubah maknanya, 3) Perbandinagan berupa keadaan.
Sumber-sumber pengetahuan tafsir pada masa ini :
1.      Al Qur’an
2.      Riwayat dari Rasulullah saw tentang penafsiran al Quran
3.      Riwayat sebagaian sahabat yang hidup ketika peristiwa-peristiwa penyebab diturunkannya al Qur’an terjadi. Sehingga hal ini dianggap sebagai bagian dari hal yang memberikan batasan makna al Qur’an.
4.      Pengetahuan bahasa Arab yang teradapat dalam ucapan-ucapan bangsa Arab dengan logat beragam.
5.      Ucapan-ucapan Ahlulkitab dari bangsa Yahudi dan Nasarani. Karena al Quran membahas dua bangsa tersebut; 1) Quran banyak bercerita kejadian dan berbagai peristiwa pada masa-masa Nabi terdahulu sebelum Islam datang, 2) Qur’an banyak mengkeritik adat dan tradisi kehidupan para Ahlulkitab.

d)     Tafsir dalam Madzhab Ahlulbait
      Metodologi ahlul bait dalam tafsir, terbagi menjadi dua. Pertama, sudut pandangnya terhadap al Quran. Kedua,sudut pandang secara umum terhadap retorika penetapan kebenaran dalam memahami al Qur’an, syari’at Islam dan Sunah Nabawi.
      Sudut pandang pertama, terbagi dalam beberapa hal yaitu ;
1.      Kemurnian teks-teks al Qur’an
2.      Qur’an adalah refrensi umum (marja’ al-‘am) bagi seluruh risalah Islam

Sedangkan pada sudut pandang kedua, diklasifikasikan sebagai berikut ini ;
1.      Qur’an adalah penentu kebenaran dan kebatilan
2.      Sebagian riwayat ahlul bait, segala sesuatu dalam syariat Islam memiliki dasar dalam Al-Qur’an.
3.      Menjadikan al-Qur’an sebagai acuan bagi semua persyaratan, aturan, perjanjian dan akad.

       3.      Urgensi

            Mempelajari ilmu tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah pada Q.S Shad ayat 29[14] dan Q.S. Muhammad SAW ayat 24[15].  Mengapa kemudian tafsir menjadi sangat urgen? Karena Al-Qur’an adalah pedoman hidup kita. Ia adalah kompas dan peta yang harus komperhensif dan terperinci. Mengetahui arti yang sudah jelas dan mengungkap arti yang masih bersifat global menjadi mutlak dilakukan. Al Quran masih bersifat mujmal  (global) dan ada beberapa ayat yang harus dipahami secara lebih detail lagi dan kemudian menjadi utuh pemahaman kita terhadap al Quran sebagai the of life. Disinilah urgensi tafsir menjadi tak terbantahkan eksistensinya. Adapun mengkaji tafsirnya adalah untuk mengetahui, mamahami, dan menghayati kandungan isinya, maksudnya, dan hikmah dari ayat-ayat Al-Qur’an. Karenanya kita pun wajib mengetahui isinya, menghayatinya, serta yang paling penting adalah mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
            Lebih lanjut, Ini bukan hanya kewajiban ustadz, kyai, atau ulama  saja, tetapi tanggungjawab dan kewajiban seluruh dan setiap pribadi muslim, yang mengaku dirinya muslim, yang mengaku kitab sucinya Al-Qur’an. Adapun Ustadz, kyai, atau ulama berperan sebagai penyampai, yang menjembatani pedoman hidup itu kepada umat Islam secara umum.

      a)      Urgensi Membedakan Tafsir Leksikal (Lafzhiyah) Dan Semantik (Ma’nawiah)
Jika dilihat dari obyek yang ditafsirkan, tafsir dibagi menjadi dua bagian, pertama. tafsir Leksikal[16]. Kedua, tafsir Semantik[17].
            Tafsir leksikal adalah penjelasan makna suatu lafazh dari segi bahasa, sedangkan tafsir semantik adalah memberikan batasan-batasan subyek-subyek makna luarnya yang bersesuaian dengan makna tersebut.
            Ketika mendengar seserang berkata, “Bahwasanya negara-negara besar memiliki persenjataan yang canggih,” kita terkadang akan bertanya-tanya, “Apa yang dimaksud dengan persenjataan?” Kita menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan persenjataan adalah segala sesuatu yang dapat membantu pemiliknya untuk memaksa lawan-lawannya. Pada kesempatan lain, kita juga dapat bertanya-tanya, “Apa jenis senjata yang dimiliki oleh negara-negara tersebut?” Maka pertanyaan ini dapat kita jawab dengan mengatakan bahwa senjata yang mereka miliki adalah ranjau-ranjau dan rudal-rudal yang dapat menjangkau tempat yang jauh, atau satelit mata-mata, atau senjata pemusnah massal, atau yang lainnya.
            Pada jawaban yang pertama, kita menafsirkan makna lafazh tersebut. Kita menyebutkan makna lafazh tersebut dari segi bahasa. Pada jawaban yang kedua, kita menafsirkan makna itu dengan dengan menyebutkan hal-hal yang memiliki kaitan dengan makna lafazh tersebut secara keseluruhan. Proses penafsiran yang pertama kita sebut dengan penafsiran leksikal atau penafsiran dari segi bahasa ; yaitu pemberian batasan konsep-konsep lafazh tersebut. Proses penafsiran kedua kita sebut dengan penafsiran semantik, yaitu penjemaan konsep-konsep tersebut dalam bentuk-bentuk tertentu.
            Contoh mengenai hal tersebut banyak terdapat dalam al-Quran. Kita dapat melihat, di dalam al-Alquran, bahwa Allah memiliki sifat hidup, Maha Mengetahui, Berkehendak, Maha Mendengar, Maha mMelihat dan Berbicara. Kita dapat membahas kalimat-kalimat tersebut dengan dua pembahasan berikut ini.
1)                 Pembahasan pengertian kata-kata atau frase-frase tersebut dari segi bahasa.
2)                 Pembahasan tentang perangkat-perangkat yang berkaitan dengan pengertian subyek-subyek yang sesuai dengan sifat Allah.
Bagaimana Allah mendengar? Apakah Dia mendengar dengan menggunakan alat indra ataukah tidak? Bagaimana Dia mengetahui sesuatu di luar Zat-Nya?
Bagian pertama merupakan contoh dari tafsir etimologis sementara yang kedua disebut dengan tafsir semantik.
Contoh dari hal ini adalah Firman-Nya:
Dan ini(al-Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi, membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekkah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhir tentu beriman kepadanya (al-Quran), dan mereka selalu memelihara sembahyangnya. 305
Dan firman-Nya:
...dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia...306
Dan juga firman-Nya:
Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.307
Dari ayat-ayat di atas, kita mendapatkan bahwa ayat-ayat tersebut bercerita tentang segala sesuatu yang berkisar pada permasalahan al-Kitab, besi, dan air. Penafsiran leksikal dari ayat-ayat di atas yaitu dengan menjelaskan makna an-nuzul (turun) secara bahasa dan memberikan batasan pengertian dari lafazh anzalna (Kami turunkan) yang terdapat pada ketiga ayat tersebut. Kita dapat mengetahui bahwa lafazh tersebut mengandung makna “Turun dari arah yang lebih tinggi”. Adapun penafsiran secara semantik adalah mempelajari hakikat dari sifat inzal (penurunan) ini dan juga jenis dari “arah yang tinggi” tersebut, yang dari tempat itulah al-Kitab, besi, dan juga air turun, dan juga pertanyaan yang berupa, “Apakah arah itu sesuatu yang konkret ataukah abstrak?”

        b)     Urgensi dalam Kebebasan dan Keterbasan dalam Tafsir
            Dalam rangka menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara prinsip diperlukan ilmu Tafsir. Ilmu yang dimaksud itu, secara prinsip pula menerangkan tentang Nuzulul Ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, Asbabun Nuzulnya, tertib Makiyah dan Madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihahnyan, naskh dan mansuknya, halal dan haramnya, wa’ad dan wa’id nya, ‘amar dan nahyunya, i’bar dan amsalnya.
            Maka dengan ilmu tafsir, penafsiran ayat-ayat dapat memberikan “penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassirin)”[18]dan bahwa “kapasitas arti kosakata atau ayat-ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat-ayat tersebut secara berdiri sendiri”[19]. Tutntutan pemahaman ayat-ayat tersebut berlaku sepanjang zaman, dan generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang pernah menyaksikan turunnya Al-Quran.
            Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang bukan saja dipengaruhi o;eh tingkat kecerdasannya, tetapi juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial politik dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

            Dari sini dapat dipahami bahwa seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami dan menafsirkan al-Quran. Karena hal ini merupakan perintah al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang berbeda dengan lainnya, harus ditampung. Hal ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.[20]



       c)      Syarat Mufassir

            Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah yang timbul pembatasan-pembatasan  dalam penafsiran al-Quran, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dilakukan dalam berbagai disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan. Bahkan dipandang dari eksistensinya yang sangat dekat dengan al-Quran karim, maka kedudukan tafsir sangat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan itu sangat menonjol, terutama bila disadari bahwa dinamika dan kebangkitan umat Islam baik secara individu maupun masyarakat, terletak pada sejauh mana mereka bergantung dan bergantung pada hidayah al-Quran, bersandar pada ajaran dan aturan yang memuat dan akan membawa pada kebahagiaan manusia. Untuk sampainya maksud tersebut dibutuhkan penjelasan, keterangan terperinci dan penjabaran lebih lanjut, yakni tafsir.
Sesungguhnya manusia (mufassir) bebas melakukan penafsiran. Namun dari segi syarat penafsiran, khusus bagi penafsiran yang mendalam, menyentuh dan menyeluruh ditemukan banyak syarat. Secara umum oleh Muhammad Quraish Shihab disebutkan:
1.      Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidang.
2.      Pengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi dan ushul fiqih.
3.      Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan.
4.      Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[21]
Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan al-Quran.[22]
Dalam menafsirkan ayat al-Quran ada dua hal yang harus digaris bawahi yakni.
1.      Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan penafsiran ayat al-Quran.
2.      Faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain:
a.       Subjektivitas mufassir.
b.      Kekeliruan dalam menetapkan metode atau kaidah.
c.       Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat/bahasa
d.      Kedangkalan pengetahuan tentang materi  uraian (pembicaraan) ayat.
e.       Tidak memperhatikan konteks, baik Asbabun Nuzul, hubungan antara ayat, maupun kondisi sosial masyarakat.
f.       Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.[23]
Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerjasama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Disamping apa yang telah dikemukakan di atas, yeng mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran al-Quran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran, khusunya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahasa.[24]
Walaupin hasil penafsiran tersebut bebas dan kebebasan itu tidak dibatasi, namun hasil tafsir dapat dikategorikan pada empat kategori:
1.                       Penafsiran yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahsa mereka.
2.                       Penafsiran yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya.
3.                       Penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh ulama.
4.                       Penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[25]

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, antara lain:
1.             Makna tafsir secara terminologi terjadi perbedaan. Perbedaan itu terletak pada sesuai tidaknya persoalan yang menjadi pembahasannya.
Sementara Takwil adalah pengembalian sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud dari suatu ayat.
2.       Secara maknawi bahwa tafsir dan takwil mempunyai perbedaan, dan perbedaan itu bukan paradoksal, tetapi dari sifat-sifatnya.
3.       Dalam melakukan penafsiran ayat al-Quran, Islam sangat menganjurkannya, akan tetapi anjuran dalam bentuk kebebasan tersebut dibatasi, dan pembatasan itu bukan dalam arti mematikan semangat untuk melakukan penafsiran-penfsiran terhadap ayat al-Quran, melainkan agar para mufassir berhati-hati dalam menjelaskan ayat-ayat dalam al-Quran.

            Dengan pembahasan ini, semoga dapat memberikan gambaran yang lebih utuh tentang tafsir dan takwil dalam melakukan penafsiran dan pentakwilan terhadap ayat-ayat dalam al-Quran.

4.      Contoh-contoh Tafsir dan Takwil
Contoh tafsir dan takwil, firman Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 2 yang berbunyi: لاَ رَيْبَ فِيهِ (tidak ada keraguan di dalamnya). Jika diartikan, لاَ شَكَّ فِيْهِ (tidak ada kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman”maka ini adalah takwil[26].
Contoh lain, misalkan firman Allah dalam surah al-An’âm [6] ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-mayyit (Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Jika ayat ini diartikan, “Allah mengeluarkan burung (yang bernyawa) dari telur (yang mati/tidak bernyawa),” maka ini tafsir. Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmin dari orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh, maka ini adalah takwil[27].
 
Contoh lain, firman Allah dalam surah al-Fajr ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para hamba-Nya, maka itu tafsir. Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil[28].

BAB III
KESIMPULAN

1.      Tafsir adalah, keterangan mengenai petunjuk-petunjuk yang berasal darinya dan penjelasan mengenai makna yang diisyaratkan oleh lafazh tersebut.

2.      Takwil adalah mentakwilkan al-Quran adalah membelokkan atau memalingkan lafazh-lafazh atau kalimat-kalimat yang ada dalam al-Quran dari makna lahirnya ke makna lainnya, sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW

3.      Perbedaan tafsir dan takwil adalah :
NO
Tafsir
Takwil
1
Bersifat Umum
(ayat-ayat terdapat ambigu atau musyakkilah)
Bersifat Khusus
(Seperti ayat Mutsyabihah dan lain-lain)
2
Menerangkan melalui riwayat
Melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu) dan berfikir rasional.
3
Menerangkan makna yang tersurat (bil ibarah)
Menerangkan makna tersirat (bil isyarah)
4
Berhubungan dengan makna-makna atau lafadz biasa-biasa saja
Berhubungan dengan makna khusus
5
Penjelasan makanya telah diberikan oleh al Quran sendiri
Penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath (panggilan) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya
6
Tafsir penjelasan lebih lanjut bagi takwil. Bagi tafsir, sejauh ada dalil yang menguatkan penafsiran, maka boleh mengatakan “Demikianlah yang dikhendaki Allah SWT.
Takwil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan-kemungkinan makna yang dimiliki ayat (lafadz), sehingga tidak boleh menyatakan, “Demikianlah yang dikehendaki oleh Allah swt”.
7
Tafsir mencari pertentangan makna dzahir lafadz yang dimaksud.
Takwil membahas makna dzahir untuk kemudian dicari maknna lainnya[29].
8
Tafsir memiliki hukum pasti (qoth’iah dilalah)
Takwil memiliki hukum yang berdasarkan pada pemilihan mana yang ppaling benar dari kemungkinan yang ada (dzanniah dilalah)[30].
9
Tafsir berdasarkan dalil syar’i (naqli)
Takwil adalah petunjuk penjelasan suatu lafadz yang berdasrkan rasio (‘aqli)[31].


4.      Syarat mufassir yaitu berpengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidang, berpengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi dan ushul fiqih, berpengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan, dan berpengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat
5.      Tafsir pada masa Rasulullah bersumber langsung kepadanya. Setelah itu bersumber kepada Qur’an dan Ahlul Bait (sebagai sumber hadist) pada riwayat hadist sahabat dan Tabi’in.
6.      Selain banyaknya orang Arab dan sahabat yang tidak memahami bahasa al-Quran (meskipun sama-sama bahasa Arab), tafsir menjadi urgen karena dalam memahami teks al Qur’an yang utuh dan menyeluruh, dibutuhkan adanya tafsir. Dan karena al-Qur’an adalah pedoman hidup umat manusia, sehingga jika ada kesalahan mind sheet (pemahaman al-Qur’an) awal yang dibangun, berimplikasi kepada—meminjam istilah hadist—dholla wa adholla (sesat dan menyesatkan).

7.      Contoh-contoh tafsir dan takwil bisa dari Qur’an dan bahkan hadist itu sendiri. Seperti, ayat—firman Allah dalam surah al-Fajr ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para hamba-Nya, maka itu tafsir. Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil[32]. Dan contoh berikutnya, hadist. Dalam hadist riwayat imam Bukhari, diceritakan bahwa Addi bin Hatim belum memahami makna firman Allah SWT,…”dan makan minumlah hingga terang benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”[33]. Kemudian ia mengambil sebuah tali berwarna hitam, dan pada pertengahan malam ia memperhatikan tali tersebut namun tidak merasa melihatnya dengan jelas. Ketika menjelang pagi, Rasulullah saw pun memberikan interprestasi tafsir tentang takwil ayat tersebut.



[1] Rif’at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), hlm. 139
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Sinar Garfika (Oktober, 2005), hlm.98
[5] Al-Qamus, pada lema awwala.
[6] Ibid., hlm 144.
[7] M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 185
[8] M. Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Al-Huda (Maret 2006). Hlm 338-339
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Q.S. Al Baqarah: 187
[12] At Tafsir wal Mufassirin, 1:51, Dzahabi, Dar al-Kutub al-Haditsah.
[13] “Allah merahmati ‘Ali, Ya Allah, iringkanlah kebenaran bersamanya (‘Ali) ke manapun ia pergi”.
[14] “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
     ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”
[15] “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? ”
[16] makna yang bersifat tetap dan tidak terikat dengan kata lainnya (berdiri sendiri). Makna leksikal sering disebut makna yang sesuai dengan kamus. Lihat di http://web-bahasaindonesia.blogspot.co.id/2015/10/perbedaan-makna-leksikal-dan-makna.html
[17] Semantik dari Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, Semantik adalah pembelajaran tentang makna. Lihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Semantik.
[18] Muhammad Husain Az-Zahaby, op.cit.,hlm.59
[19] Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Beirut,Dar Al-Ma’rifat, t.t), hlm. 35.
[20] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran; fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Bandung, Mizan, 1993, hlm. 77).
[21] Ibid.,hlm. 79
[22] Ibid., hlm.
[23] Ibid.
[24] Untuk keterangan yang panjang tentang tiga persoalan tersebut serta fungsi tiga aspek tersewbut silakan lihat dalam M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat (Bandung, Mizan, 1993), hlm. 79.
[25] Az-Zarkasyi. Al-Burhan fii Ulumul Qur’an, (Mesir, Isa Al-Hab Al-Halabi, 1957) hlm. 65.
[26] http://gemakreatif.blogspot.co.id/2009/06/tafsir-dan-tawil.html

[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] M. Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Al-Huda (Maret 2006). Hlm 338-339
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Q.S. Al Baqarah: 187






Share:

0 komentar:

Post a Comment